Jihad Santri di Era Industri 4.0
Jaman tak pernah benar-benar meninggalkan pesantren. Namun berganti rupa—dari surau sederhana di pinggir sawah menjadi kompleks megah dengan menara digital dan kelas daring. Tapi di balik semua perubahan itu, ruhnya tetap sama, ikhlas mencari ilmu dan menjaga negeri.
Delapan puluh tahun lalu, pada Oktober 1945, para kiai memantik api sejarah lewat Resolusi Jihad. Fatwa itu bukan sekadar seruan perang, melainkan penegasan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman. Dari situlah lahir generasi santri pejuang yang mengangkat bambu runcing sekaligus doa qunut. Kini, delapan dekade berselang, santri kembali dipanggil — bukan untuk mengangkat senjata, melainkan menghadapi perang baru, perang melawan ketertinggalan di era Industri 4.0.
Dari Sorogan ke Digitalisasi
H. Abdullah Aminudin, politikus santri asal Blora yang kini duduk di DPRD Provinsi Jawa Tengah, di depan GP Ansor Cepu mengingatkan bahwa dunia berubah terlalu cepat. Dalam kunjungannya ke Jepang dan Cina, Mas Amin melihat bagaimana kehidupan sehari-hari sudah digerakkan oleh mesin cerdas dan sistem otomatis.
“Kalau santri tidak ikut belajar teknologi, maka mereka akan jadi penonton di negeri sendiri,” ujarnya.
Namun Mas Amin bukan sekadar bicara soal modernisasi yang dingin dan mekanis. Mas Amin menegaskan, sistem pendidikan pesantren justru lebih adaptif dari yang orang kira. Tradisi ngaji sorogan dan hafalan kitab kuning adalah bentuk personalized learning paling tua di dunia, relasi guru-murid yang berbasis pada nilai, bukan algoritma. Yang dibutuhkan hanyalah sentuhan baru — literasi digital dan jiwa wirausaha halal.
Jihad Baru Ekonomi Pesantren
Di hadapan kader Ansor dan para santri, Mas Amin mengemukakan gagasan yang sederhana tapi revolusioner, pesantren harus menghasilkan produk kebutuhan harian halal, atau dalam istilah modern disebut Activity Daily Living Products. Sabun, pembersih, makanan, pakaian, hingga perlengkapan kebersihan bisa diproduksi oleh pesantren sendiri.
“Kalau Pondok A memproduksi, Pondok B dan C ikut menggunakan. Itulah ekonomi gotong royong ala santri,” ujarnya.
Langkah itu bukan semata tentang ekonomi, tapi tentang martabat dan kemandirian umat. Bahwa pesantren bukan hanya tempat mengaji, tapi juga tempat belajar hidup secara produktif, mandiri, dan bermartabat.
Dengan semangat jihad ekonomi, pesantren dapat menjadi episentrum industri halal, menghidupkan ekosistem yang sejalan dengan nilai-nilai fikih dan keberkahan.
Antara Tradisi dan Inovasi
Industri 4.0 menuntut kemampuan adaptif, tapi pesantren punya modal yang tak tergantikan, keberkahan ilmu dan adab. Dua hal itulah yang sering hilang dalam sistem pendidikan modern. Santri, dengan tradisi tawadhu’-nya, justru memiliki fondasi etika yang kuat untuk menapaki dunia digital tanpa kehilangan arah.
Ajakan Mas Amin agar santri menguasai IT dan bisnis halal bukan sekadar pragmatisme ekonomi. Langkah tersebut merupakan strategi kebudayaan, yang berupaya memperluas peran pesantren tanpa mengorbankan identitasnya. Pesantren bukan meniru dunia luar, tapi memperluas dirinya ke dunia yang lebih luas — tetap santri, tapi santri yang mengendalikan teknologi, bukan dikendalikan olehnya.
Estafet Perjuangan
Perjalanan hidup Mas Amin sendiri merepresentasikan kesinambungan tradisi pesantren dan pengabdian publik. Dari kakak iparnya H. Syahid Effendi (Wakil Ketua DPRD Blora 1971–1999), kakaknya H. Abdul Ghoni (Wakil Ketua DPRD Blora 1999–2004), hingga keponakannya Ahmad Fahiem Mulabbi alias Gus Fahiem (anggota DPRD Blora 2024–sekarang)—semuanya tumbuh dalam kultur pesantren dan semangat pengabdian.
Tradisi itulah yang menunjukkan bahwa politik dan pesantren tak perlu berseberangan. Keduanya bisa saling meneguhkan jika niatnya adalah pengabdian.
Santri Zaman Now, Penjaga Masa Depan
Generasi Z santri lahir di antara dua dunia, dunia kitab dan dunia digital. Mereka bisa membaca Fathul Qarib di pagi hari dan ngoding di malam hari. Jika dua kemampuan itu berpadu, maka lahirlah generasi yang bukan hanya paham agama, tapi juga paham zaman.
Resolusi Jihad 1945 melahirkan kemerdekaan, kini Resolusi Kemandirian mesti melahirkan kesejahteraan.
Dan jihad santri hari ini—sebagaimana ditegaskan Mas Amin—adalah jihad untuk berdikari dengan cara yang halal, berinovasi tanpa meninggalkan adab, dan menjadi penerang di tengah kabut zaman.
