Jembatan Kaca Makan Bergizi Gratis

Ilustrasi jembatan kaca retak sebagai simbol rapuhnya komunikasi dalam polemik program Makan Bergizi Gratis di Blora

Komunikasi, dalam banyak hal, ibarat sebuah jembatan kaca, bening, transparan, bisa memperlihatkan dasar di bawahnya. Tapi sekaligus rapuh, satu retakan kecil saja bisa membuat orang yang melintas ketakutan, bahkan enggan melewati. Di Blora, jembatan kaca itu kini diuji oleh polemik Makan Bergizi Gratis (MBG).

Retakan dari DPRD

Komisi D DPRD Blora sejatinya menjalankan fungsi kontrol. Mereka geram melihat menu MBG dari salah satu dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Manggir yang dianggap terlalu minimalis, jauh dari semangat pemenuhan gizi. Kemarahan itu wajar, bahkan perlu. Namun, tatkala Ketua Komisi D, Subroto, melontarkan kalimat “tidak apa-apa dibenci TNI,” jembatan kaca komunikasi mulai retak. Retakan itu bukan soal substansi, melainkan cara berucap yang meninggalkan bunyi bergemuruh, membuat lawan bicara lebih defensif daripada terbuka.

Klarifikasi TNI

Kodim 0721/Blora merasa perlu hadir di depan media. Letkol Inf Agung Cahyono menegaskan, TNI hanya monitoring, bukan beking dapur penyedia. Kata-katanya bernuansa teduh, mencoba menambal kaca yang retak dengan lem pengertian. Tapi jembatan kaca itu sudah terlanjur bergetar. TNI, yang dalam undang-undang memang memiliki fungsi pertahanan dan bina teritorial, seakan terseret ke dapur—padahal bukan mereka yang memasak.

Dapur yang Gelap

SPPG, yang mestinya menjadi dapur terang, justru tampil penuh misteri. Perjanjian mereka dengan sekolah—yang sempat memuat pasal kerahasiaan bila terjadi keracunan—menjadi noda gelap di atas kaca bening. Bagaimana mungkin sebuah program gizi yang menyasar anak-anak justru menuntut kerahasiaan bila gagal? Bukankah transparansi adalah syarat utama agar publik percaya makanan itu aman masuk ke tubuh generasi? Revisi juknis dari Badan Gizi Nasional memang menarik kembali klausul itu, tapi retakan sudah terlanjur tampak.

Dinas Pendidikan yang Diam

Sementara itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Blora memilih berjalan pelan di atas jembatan kaca dengan mulut terkunci. “No comment,” kata Sekretaris Disdik. Sikap ini bisa dimaknai sebagai kehati-hatian, tapi juga bisa dipersepsikan sebagai pembiaran. Transparansi tak bisa lahir dari diam; ia butuh keberanian menyapa publik, meski dengan bahasa sederhana, apa yang diketahui, apa yang belum.

Belajar Menjaga Kaca

Polemik MBG di Blora mengajarkan satu hal, komunikasi adalah jembatan kaca yang harus dijaga bersama. DPRD perlu kritis tapi tetap berhati-hati dalam memilih diksi. TNI wajib konsisten menjaga batas peran agar tidak dianggap masuk dapur yang bukan wilayahnya. SPPG mesti berani membuka prosesnya secara jujur. Dan Dinas Pendidikan, alih-alih menutup mulut, sebaiknya tampil sebagai penerjemah antara aturan pusat dan keresahan lokal.

Jembatan kaca itu akan tetap indah bila beningnya terjaga. Tapi bila tiap aktor berjalan sembari melempar batu, yang retak bukan hanya komunikasi—melainkan juga kepercayaan publik, bahkan masa depan anak-anak yang semestinya tumbuh sehat dari sepiring makan bergizi.