Permainan Tiga Versi Hari Jadi Blora, 1749, 1583, atau 1017?
Hari Jadi Kabupaten Blora selama ini ditetapkan pada 11 Desember 1749. Namun, rakyat punya hak untuk bertanya, benarkah Blora baru lahir pada tanggal itu? Jika kita membuka lembaran sejarah yang lebih tua, setidaknya ada tiga versi hari jadi yang layak diperbincangkan.
Versi Resmi 1749, Wilatikta dan Pangeran Mangkubumi
Perda Kabupaten Blora menetapkan 11 Desember 1749 sebagai Hari Jadi. Alasannya sederhana, pada tanggal itu, Raden Tumenggung Wilatikta diangkat oleh Pangeran Mangkubumi sebagai Bupati Blora. Keputusan ini lahir pada masa Bupati Soekardi Hardjoprawiro di era 1980-an, ketika penelitian sejarah yang digagas pemda terhenti karena keterbatasan dana.
Maka, titik 1749 dipilih sebagai “titik aman”. Ada dasar hukum, ada legitimasi administratif. Praktis, tapi terasa pendek, seolah Blora baru lahir kemarin sore, padahal jejak sejarahnya jauh lebih panjang.
Versi Panolan 1583, Kontinuitas Pemerintahan Lokal
Sejarah Panolan menjadi batu pijakan lain. Setelah runtuhnya Jipang akibat kekalahan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Penangsang melawan pemberontakan Hadiwijaya, wilayah ini diturunkan statusnya menjadi kadipaten. Pada tahun 1583, Pangeran Benawa — putra Hadiwijaya — ditunjuk sebagai Bupati Panolan yang pertama.
Sejak itu, Panolan hidup sebagai entitas pemerintahan lokal yang berkesinambungan hingga pertengahan abad ke-18. Bukti tertulis ada di Babad Mangkubumi, yang mencatat pertempuran di alas Blungun, Jepon, antara pasukan Pangeran Mangkubumi melawan gabungan prajurit Bali dan pasukan Panolan/Cepu. Artinya, Panolan bukan dongeng. Ia eksis, bahkan terlibat dalam arus besar konflik Jawa.
Jika kesinambungan pemerintahan jadi dasar, mestinya Blora boleh menarik garis hari jadinya ke 1583, bukan berhenti di 1749.
Versi Mahapralaya 1017, Jejak Lwaram dan Runtuhnya Medang
Lebih tua lagi, ada catatan Prasasti Pucangan tentang runtuhnya Kerajaan Medang akibat serangan Wurawari dari Lwaram (Ngloram, Cepu). Peristiwa besar yang dikenal sebagai Mahapralaya terjadi sekitar tahun 1016–1017.
Fakta ini menunjukkan bahwa kawasan Blora sudah dikenal sebagai pusat kekuatan politik sejak abad ke-11. Sayangnya, tidak ada kesinambungan administratif dari Lwaram ke Panolan maupun Blora modern. Maka nilai 1017 bersifat kultural, simbolis — menguatkan kebanggaan bahwa tanah Blora pernah jadi panggung sejarah Nusantara.
Spekulasi Rakyat vs Sejarah Resmi
Sejarah resmi lahir dari kompromi politik dan keterbatasan anggaran penelitian. Tapi rakyat punya hak untuk berspekulasi. Spekulasi bukanlah ngawur, melainkan kritik yang membangun, mengingatkan bahwa sejarah bukan hanya milik perda, tapi juga milik memori kolektif masyarakat.
Maka wajar bila rakyat menyimpan tiga versi Hari Jadi Blora :
-
1749, administratif dan resmi.
-
1583, historis dan berkesinambungan.
-
1017, kultural dan simbolis.
Tiga Bayangan Sejarah
Blora bisa lahir di 1749, bisa juga di 1583, bahkan 1017. Pemerintah mungkin hanya memilih satu tanggal, tapi rakyat bebas merawat semua versi. Karena sejarah bukan sekadar angka di perda, melainkan bayangan panjang masa lalu yang tetap hidup di kepala dan hati rakyatnya.
