Keadilan Energi dari Daerah, Suara Rakernas ADPMET 2025 di Cepu
Suara dari Tanah Penghasil Energi
Dari tanah tua Cepu, suara keadilan energi kembali menggema. Dalam Rakernas ADPMET 2025 yang digelar di PEM Akamigas Cepu, para kepala daerah penghasil migas berdiri bersama menyuarakan hal yang sama, “Keadilan bagi daerah yang menanggung beban eksploitasi.”
Mereka datang bukan untuk nostalgia, tapi membawa keresahan yang nyata. Di tengah wacana pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) tahun 2026 dan menyusutnya Dana Bagi Hasil (DBH) Migas, forum ADPMET menjadi ruang bersama untuk menyusun langkah — agar daerah penghasil tidak hanya menjadi penonton dari kekayaan alamnya sendiri.
DBH Migas Di Antara Harapan dan Ketimpangan
Bupati Blora, Dr. H. Arief Rohman, yang menjadi tuan rumah Rakernas, mengajak seluruh delegasi untuk duduk satu meja membahas pengurangan DBH migas oleh pemerintah pusat. Isu ini, katanya, tidak bisa dianggap remeh.
“Kita ingin keadilan DBH migas di tengah pemotongan TKD tahun 2026. Ini menyangkut keberlangsungan program pembangunan di daerah,” ujarnya.
Beberapa kepala daerah lain juga turut hadir dan menyuarakan hal senada,
Bupati Bojonegoro Setyo Wahono, Bupati Tabalong, Bupati Penajam Paser Utara, Bupati Lampung Timur, dan Wakil Bupati Bangkalan, bersama tokoh Boyamin Saiman dari MAKI, membahas persoalan distribusi hasil energi yang selama ini belum berpihak pada daerah penghasil.
“Adanya migas di daerah harus bisa memakmurkan masyarakat di daerah itu,” tegas Bupati Bojonegoro, singkat tapi penuh makna.
Daerah Penghasil, Beban Ganda yang Tak Selalu Diakui
Di balik angka produksi nasional, daerah penghasil migas menanggung beban sosial, lingkungan, dan infrastruktur yang besar. Jalan rusak akibat mobilitas industri, lahan warga terpakai untuk jaringan pipa, dan perubahan sosial akibat masuknya kapital besar — semua itu terjadi di wilayah penghasil.
Namun, DBH migas yang diterima sering kali tak sebanding dengan kerusakan dan tanggung jawab yang mereka pikul. Dalam konteks ini, perjuangan yang diangkat ADPMET bukan sekadar urusan fiskal, melainkan soal moral dan keseimbangan pembangunan.
Dari Rakernas ke Reposisi Kebijakan Nasional
Ketua Umum ADPMET, Dr. H. Al Haris, menegaskan bahwa hasil Rakernas 2025 akan dibawa langsung ke Menteri ESDM, Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri sebagai bahan pertimbangan dalam kebijakan nasional sektor energi.
“Daerah penghasil migas harus menjadi motor kemandirian energi nasional. Kita ingin percepatan pengelolaan sumber daya energi daerah secara berkeadilan dan berkelanjutan,” ujar Al Haris.
Ia juga menyinggung pentingnya mempercepat participating interest (PI) 10 persen bagi daerah, agar BUMD migas bisa berperan aktif, bukan sekadar pemegang saham pasif.
“Participating interest 10 persen adalah hak daerah. Kalau dikelola dengan baik, bisa jadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tambahnya.
Politik Energi Antara Sentralisasi dan Otonomi Daerah
Isu keadilan energi yang muncul di Rakernas Cepu sebenarnya mencerminkan kontradiksi lama antara pusat dan daerah. Di satu sisi, pemerintah pusat memegang kontrol produksi dan kebijakan fiskal; di sisi lain, daerah menanggung dampak langsung tanpa kontrol berarti.
Kondisi ini membuat munculnya desakan agar reformasi tata kelola migas berbasis daerah segera diwujudkan — bukan hanya dalam bentuk PI atau DBH, tapi dalam desain yang lebih mendasar: pengakuan atas hak sosial daerah penghasil energi.
“Kalau daerah diberi ruang, mereka bukan hanya bisa menambang, tapi juga mengelola dan membangun ekosistem energi yang berkelanjutan,” ujar salah satu peserta forum, mewakili BUMD migas daerah.
Cepu, Simbol Konsolidasi Energi Daerah
Tak heran jika Cepu dipilih sebagai tuan rumah. Daerah ini punya posisi simbolik, tua dalam sejarah migas, muda dalam semangat kolaborasi. Dari sinilah, para pemimpin daerah membentuk suara kolektif, sebuah pernyataan tak tertulis bahwa energi bukan sekadar urusan pusat, melainkan hak bersama yang lahir dari tanah daerah.
Rakernas ADPMET 2025 di Cepu, dengan segala dialog dan perdebatan di dalamnya, menjadi titik balik reposisi peran daerah dalam energi nasional — dari pelengkap menjadi penggerak, dari penerima kebijakan menjadi pembentuk kebijakan.
Energi yang Adil, Daerah yang Bermartabat
Keadilan energi tak akan terwujud hanya lewat rumus fiskal, tapi lewat pengakuan bahwa setiap sumur punya masyarakat di sekitarnya. Bahwa setiap tetes minyak yang diangkut dari tanah Bojonegoro, Tabalong, atau Blora, sejatinya menyimpan harapan anak-anak di desa penghasil itu sendiri.
Dari Cepu, pesan itu disuarakan lagi. Dengan nada yang lebih matang, lebih beradab, dan lebih berdaulat.
“Adanya migas di daerah harus bisa memakmurkan masyarakat di daerah itu.”
Kalimat sederhana itu kini jadi gema perjuangan baru — bukan hanya di forum ADPMET, tapi di seluruh wilayah penghasil energi di Indonesia.
