Cepu, Titik Tua dengan Energi Baru, Di Mana Sejarah Migas dan Harapan Bangsa Bertemu

 

Bupati Blora, Kepala BPSDM ESDM dan Ketua Umum ADPMET pada Rakernas 2025 di Graha Oktana PEM Akamigas Cepu, simbol sejarah migas Indonesia

Jejak Tua di Tanah Cepu

Cepu. Nama itu mungkin tak sebesar Bojonegoro atau Riau dalam peta produksi migas nasional, tapi dalam lembar sejarah energi Indonesia, Cepu berdiri sebagai pusat pengetahuan dan memori industri perminyakan. Di tanah inilah, sejak masa kolonial Belanda, sumur-sumur tua seperti Ledok, Semanggi, dan Nglobo menjadi saksi mula-mula bangsa ini mengenal apa itu “emas hitam.”

Kini, setelah lebih dari satu abad, Cepu kembali jadi panggung nasional, saat 61 delegasi dari 35 daerah penghasil migas dan 26 BUMD migas se-Indonesia berkumpul dalam Rakernas ADPMET 2025. Tak sekadar rapat kerja, forum ini terasa seperti ziarah energi — sebuah pertemuan antara masa lalu dan masa depan.


Kembali ke Titik Nol Energi Nasional

Ketua Umum ADPMET, Dr. H. Al Haris, menyebut Cepu bukan hanya lokasi industri migas tua, tapi juga “pusat pembelajaran dan kesadaran energi nasional.”

“Cepu ini istimewa. Tua tapi berdaya. Dari sini, kita belajar bahwa energi bukan sekadar urusan produksi, tapi juga tentang kesinambungan pengetahuan dan kesejahteraan,” ungkapnya.

Ucapan itu mengandung makna simbolik. Cepu adalah titik nol energi nasional — tempat di mana dulu bangsa ini belajar menimba minyak, dan kini daerah-daerah penghasil migas datang untuk menimba gagasan tentang kemandirian energi.


Rakernas di Tengah Riwayat

Gedung PEM Akamigas Cepu, tempat pembukaan Rakernas berlangsung, punya daya simbolik tersendiri. Institusi pendidikan ini berdiri di atas fondasi panjang sejarah pendidikan perminyakan yang dimulai sejak masa Nederlandsch Indische Aardolie School (NIAS). Di sinilah ribuan anak bangsa ditempa menjadi teknokrat energi, dan kini menjadi saksi lahirnya arah baru, energi yang berkeadilan dan berbasis daerah.

“Sudah tepat Rakernas digelar di Cepu,” ujar Kepala BPSDM ESDM, Prahoro Yulijanto Nurtjahyo. “Di sini, sejarah dan masa depan migas bertemu. Semua daerah bisa belajar dan membangun kerja sama.”

Dalam pandangan ini, Rakernas bukan sekadar administrasi tahunan, melainkan ritual kebangsaan — menegaskan bahwa sumber daya alam dan pengetahuan harus berpulang kepada rakyat dan daerah penghasilnya.


Sumur Tua, Semangat Baru

Esok harinya, peserta Rakernas dijadwalkan meninjau sumur-sumur tua di Ledok Sambong, ikon migas rakyat di Blora. Di tempat itu, tangan-tangan masyarakat masih menimba minyak secara tradisional, dengan sistem gotong royong yang melawan logika industri modern.

Bupati Blora, Dr. H. Arief Rohman, menyebut kegiatan ini bukan sekadar field trip, tapi napak tilas perjuangan energi rakyat.

“Melihat sumur tua bukan nostalgia, tapi refleksi. Dari situ kita paham, bahwa energi sejati lahir dari kemandirian dan kerja keras rakyatnya,” ucap Arief.

Di antara dentuman mesin tua dan aroma minyak mentah yang pekat, para peserta seolah diajak merenung, bahwa kedaulatan energi nasional tak bisa hanya ditentukan di ruang rapat pusat, tapi tumbuh dari sumur-sumur kecil dan semangat besar di daerah.


Cepu dan Semangat Reposisi Daerah

Rakernas ADPMET 2025 juga mengandung pesan politik simbolik, reposisi daerah penghasil migas dalam narasi energi nasional. Cepu menjadi ruang di mana suara daerah menggema menuntut keadilan Dana Bagi Hasil (DBH) migas, mempercepat participating interest (PI) 10%, dan memperkuat SDM migas daerah.

Dari Blora, suara itu muncul bukan dengan nada marah, tapi dengan kebijaksanaan sejarah. Sebab daerah ini sudah kenyang belajar dari masa lalu — tentang bagaimana sumber daya bisa diambil tanpa meninggalkan jejak sejahtera.


Dari Cepu, Cahaya Itu Menyala Lagi

Rakernas ADPMET 2025 di Cepu bukan hanya agenda tiga hari. Ia seperti tanda zaman, bahwa Indonesia sedang beranjak dari ketergantungan menuju kemandirian energi yang lebih manusiawi. Dari Cepu, tempat sumur-sumur tua berdiri, cahaya kesadaran energi daerah itu menyala lagi.

“Dari Cepu, energi tak hanya ditambang — tapi dihidupkan kembali sebagai kesadaran.”