Blora dalam Bayang Bojonegoro, Oligarki Migas dan Politik Angka DBH

Peta wilayah Blok Cepu dengan batas administratif Bojonegoro dan Blora, menggambarkan ketimpangan wilayah penghasil

Kaya di Atas Kertas, Miskin di Lapangan

Blora adalah contoh klasik daerah yang “kaya di atas peta, tapi miskin di APBD”.
Luas wilayahnya yang masuk dalam Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Blok Cepu mencapai 37 persen, tapi nilainya di laporan keuangan negara hanya seujung koma.

Sementara Bojonegoro, yang lebih banyak disebut dalam dokumen administratif “mulut sumur produksi”, menjadi simbol daerah “berkah migas” dengan SILPA triliunan dan program infrastruktur yang menyaingi kota besar.

Di titik inilah kita mulai melihat bagaimana politik angka DBH bekerja — tidak hanya formula fiskal, tapi mekanisme kekuasaan yang menentukan siapa yang dapat manfaat, dan siapa yang cuma menanggung dampak.


Oligarki Migas, Definisi dan Wujud di Lapangan

Istilah “oligarki” dalam konteks ini tak sebatas kata sinis untuk menyebut pejabat atau pengusaha besar.
Secara konseptual, oligarki berarti struktur kekuasaan ekonomi-politik yang dikendalikan oleh segelintir aktor yang menguasai sumber daya strategis untuk mempertahankan kepentingan mereka sendiri.

Dalam konteks Blok Cepu, oligarki tidak selalu hadir dalam bentuk tokoh tunggal atau korporasi jahat. Namun oligarki disini merupakan sebentuk sistem — kombinasi antara aturan pusat, kepentingan korporasi migas, dan logika administratif yang bias.

Hasilnya?
Wilayah yang secara geologis penghasil seperti Blora bisa tergeser perannya oleh wilayah yang secara administratif diakui seperti Bojonegoro.
Itulah bentuk oligarki kebijakan — di mana kekuasaan tak hanya soal siapa yang berkuasa, tapi siapa yang menulis aturan pembagiannya.


Dari “Koordinasi” ke “Kooptasi”

Sejak eksplorasi Blok Cepu awal 2000-an, pola relasi antara daerah penghasil dan pemerintah pusat membentuk semacam “koordinasi vertikal” yang sebenarnya sarat kooptasi.
Pemerintah daerah hanya diberi ruang sebagai penerima hasil, bukan penentu kebijakan.

Ketika UU HKPD 2022 mengatur ulang sistem DBH, banyak kepala daerah tidak benar-benar terlibat dalam perumusan substansi.
Dampaknya, formula pembagian yang lahir justru memperkuat posisi provinsi dan kabupaten dengan “cap penghasil administratif” — bukan yang paling terdampak.

Blora jadi korban dari sistem yang mengutamakan data statistik dibanding realitas sosial-ekologis.


Ketimpangan Struktural yang Direkayasa Angka

Kalau dilihat dari data publik, DBH Bojonegoro bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun, sementara Blora hanya mendapat belasan miliar — padahal wilayah terdampaknya lebih luas.
Ini bukanlah hanya selisih fiskal, tapi bentuk ketimpangan struktural yang diciptakan oleh desain kebijakan.

Sistem ini memantulkan apa yang disebut para ekonom politik sebagai “oligarki anggaran” — ketika kekuasaan fiskal dipusatkan pada kelompok daerah atau birokrat yang punya akses langsung terhadap mekanisme pengakuan administratif di pusat.

Jadi, ketidakadilan DBH bukan hanya akibat dari “formula salah hitung”, tapi juga hasil dari politik representasi yang timpang — siapa yang didengar dan siapa yang diabaikan.


Blora Penghasil Bayangan di Negeri yang Tak Menghitung Bayangan

Dalam rapat koordinasi di Bapperida, Bupati Arief Rohman dengan jujur menyentil hal ini,
Orang tahu Cepu itu kaya, padahal yang kaya Bojonegoro. Kita cuma dapat nama.

Kalimat itu, sederhana tapi sarat makna politik.
Blora adalah daerah penghasil bayangan — wilayah yang berperan nyata dalam rantai produksi energi nasional, tapi tidak diakui dalam pembagian hasilnya.

Dan yang lebih ironis, masyarakat awam di luar sana tetap mengira “Cepu = makmur”, tanpa tahu bahwa di balik nama Cepu, ada Blora yang berjuang dengan APBD defisit dan jalan rusak.


Judicial Review Jadi Jalan Panjang Melawan Oligarki Kebijakan

Langkah Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi tak sebatas upaya hukum; namun telah menjelma dalam bentuk perlawanan terhadap sistem yang membiarkan ketimpangan jadi norma.

Jika MK berani meninjau ulang definisi “daerah penghasil” dengan mempertimbangkan aspek faktual-geologis dan ekologis, maka itu akan membuka pintu untuk menumbangkan dominasi oligarki fiskal yang selama ini bercokol di sektor migas.

Namun jika JR ini kandas, sejarah akan mencatat bahwa hukum di negeri ini lebih tunduk pada peta administratif daripada pada realitas sosial.


Oligarki Tidak Selalu Berwajah Jahat — Tapi Ia Selalu Menjaga Status Quo

Blora kini berdiri di persimpangan, melanjutkan perjuangan keadilan fiskal, atau pasrah di bawah bayang-bayang sistem yang sudah mapan.

Oligarki di sektor migas bekerja bukan dengan menindas secara terang-terangan, tapi dengan membuat ketimpangan terasa “biasa” dan “wajar”.
Mereka menciptakan stabilitas — tapi bukan keadilan.

Dan selama Blora tetap dianggap “wilayah sekitar”, bukan “wilayah penghasil”, maka minyak di bawah tanah itu akan terus mengalir ke kas negara, tapi tak setetes pun mengalir untuk memperbaiki jalan di atasnya.