Dari Ladang ke Lemari Besi, Anatomi Ketidakadilan DBH Migas Blok Cepu

Aktivitas sumur minyak Blok Cepu yang sebagian besar berada di wilayah administratif Blora

Sebuah Ironi di Atas Perut Minyak

Blora adalah ironi yang hidup.
Di bawah tanahnya tersimpan cadangan minyak raksasa, tetapi di atas permukaannya, jalan desa masih rusak, air bersih makin susah, dan APBD-nya tak seberapa.

Pernyataan Bupati Arief Rohman bahwa “Blora ini lumbung energi, tapi diperlakukan tidak adil” tidaklah sebatas hanya keluhan. Hal itu merupakan diagnosa politik ekonomi atas hubungan timpang antara pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam.


DBH adalah Hak Konstitusional yang Dihitung Secara Administratif

Secara normatif, Dana Bagi Hasil (DBH) adalah mekanisme konstitusional untuk menjamin bahwa daerah penghasil dan terdampak ikut menikmati manfaat dari sumber daya alam di wilayahnya.
Namun dalam praktiknya, DBH Migas dari Blok Cepu dihitung berdasarkan kriteria administratif, bukan proporsionalitas geografis dan dampak ekologis.

Menurut UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD), Blora dianggap hanya sebagai “daerah berbatasan” dengan sumur produksi, bukan “daerah penghasil”.
Padahal, secara faktual-geologis, sekitar 37 persen Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Blok Cepu justru berada di Blora.

Sederhananya, minyaknya di bawah Blora, duitnya di brankas Bojonegoro.


Formula yang Mengabaikan Keadilan Teritorial

Formula DBH saat ini didasarkan pada administrative boundaries—batas peta, bukan economic impact.
Akibatnya, perhitungan 3 persen untuk daerah sekitar dibagi “roto” alias rata-rata.
Inilah yang disindir Arief Rohman dengan istilah “Bagito” (dibagi roto tanpa logika proporsional).

Dalam logika keadilan fiskal, daerah yang paling dekat, paling terdampak, dan paling banyak menanggung eksternalitas negatif seharusnya mendapat porsi lebih besar.
Namun yang terjadi, Blora yang menanggung risiko lingkungan, kemacetan, krisis air, hingga beban sosial, justru mendapat porsi paling kecil.


Dampak Ekonomi dan Sosial, Blora Menanggung, Bojonegoro Menikmati

Selama lebih dari satu dekade produksi Blok Cepu, Bojonegoro menikmati peningkatan fiskal luar biasa. Pendapatan daerah melonjak, infrastruktur membaik, APBD-nya bahkan punya SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) triliunan rupiah.

Sementara di seberang Bengawan Solo, Blora harus berutang untuk memperbaiki jalan dan air bersih.
Krisis air di Kedungtuban, beban lalu lintas di Cepu, hingga rusaknya jaringan jalan lokal akibat proyek migas adalah harga sosial-ekologis yang tidak dikompensasikan lewat DBH.

Perkara ini gak cuma soal uang, tapi soal rasa keadilan yang terabaikan oleh kebijakan yang terlalu kaku secara administratif.


Ketika UU Tak Lagi Netral

UU HKPD 2022 seolah meneguhkan bias lama, bahwa “daerah penghasil” didefinisikan dari lokasi sumur, bukan wilayah kerja pertambangan.
Padahal di era modern, batas administratif tidak bisa lagi dijadikan acuan tunggal untuk menentukan hak fiskal.

Di titik inilah langkah Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi yang digagas Pemkab Blora dan DPRD menjadi masuk akal.
Jangan pandang hanya gugatan hukum, tetapi lihatlah pada pembelaan moral terhadap konsep desentralisasi yang selama ini dipuja dalam wacana otonomi daerah, tapi dipasung dalam praktik fiskalnya.


Antara "Blok Cepu" dan "Daerah Cepu", Soal Siapa yang Dapat Nama dan Siapa yang Dapat Manfaat

Ironi lain muncul dari branding “Blok Cepu”.
Nama “Cepu” seolah menandakan pusat produksi migas itu ada di Blora. Tapi dalam angka, Blora justru nyaris tak kecipratan hasilnya.

Orang tahunya Cepu itu kaya. Padahal yang kaya Bojonegoro. Kita cuma dapat nama, bukan hasil,” kata Bupati Arief.
Ini menggambarkan jurang antara persepsi simbolik dan realitas fiskal—antara yang punya nama dan yang punya kuasa atas data DBH.


Keadilan Fiskal Tak Sebatas Angka

Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, konsep “justice in extraction” menjadi relevan, daerah yang terdampak eksploitasi sumber daya harus mendapat kompensasi yang sepadan, bukan hanya diangap sebagai bagian administratif.

Pemerintah pusat bisa mengubah formula DBH tanpa menabrak UU, dengan memperluas tafsir “wilayah penghasil” berdasarkan indikator dampak dan kontribusi wilayah terhadap kegiatan produksi migas.
Langkah ini akan mencerminkan substansi keadilan fiskal yang diharapkan oleh semangat desentralisasi.


Dari Judicial Review ke Rekonstruksi Kebijakan

Jika langkah Judicial Review Blora ke MK berhasil, ini bisa menjadi preseden penting bagi daerah-daerah lain di Indonesia yang bernasib sama, yaitu, kaya sumber daya tapi miskin hasil.

Namun lebih dari sekadar gugatan hukum, perjuangan ini adalah upaya untuk merekonstruksi ulang hubungan pusat-daerah dalam logika keadilan fiskal.
Sebab selama DBH masih dibagi dengan logika birokratis, bukan empatik, maka minyak di perut Blora hanya akan terus menyala untuk menerangi kota lain, bukan rakyat di tanahnya sendiri.