BUMDes Cepu Raya, Antara Lentera Desa atau Kilang Mini Segelintir Orang
Bimbingan Teknis (Bimtek) perangkat BUMDes di Kecamatan Tunjungan mungkin terlihat sederhana. Sebuah forum, beberapa narasumber, dan peserta yang hadir dengan batik serta surat tugas. Tapi, di balik itu tersimpan sebuah pergeseran besar, desa mulai belajar good governance.
Kata-kata yang dulu terdengar seperti jargon kampus atau seminar kementerian kini bergema di ruang rapat desa. Transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban—bukan lagi sekadar wacana di atas kertas, tapi kebutuhan nyata agar BUMDes tidak sekadar ada, melainkan hidup.
Pertanyaan retoris pun muncul, kalau Tunjungan bisa memulai, mengapa Cepu Raya masih sering terjebak pada pola lama?
Sejarah Panjang, Kaya tapi Tidak Berdaulat
Cepu Raya—yang mencakup Cepu, Sambong, Kedungtuban, Kradenan, Randublatung, dan Jati—memiliki sejarah panjang tentang kekayaan yang justru lebih sering mengalir keluar.
Di Cepu, minyak bumi sudah disedot sejak zaman kolonial. Ribuan barel mengalir, tapi rakyat kecil hanya menonton dari balik pagar kilang.
Di Randublatung, hutan jati pernah disebut emas hijau. Kayunya dibawa ke luar negeri, namun warga desa tetap hidup sederhana, bahkan kerap dipaksa menjaga hutan yang bukan miliknya.
Di Kedungtuban dan Sambong, hasil panen berpindah tangan ke tengkulak. Di Jati, pedagang kecil bertahan di pasar tradisional yang tak kunjung naik kelas.
Sejarah ini terlalu pahit untuk diulang. Tapi celakanya, pola serupa mulai tampak dalam pengelolaan BUMDes. Lembaga yang mestinya jadi harapan desa, kadang hanya jadi “kilang mini”, terang untuk segelintir orang, gelap untuk masyarakat banyak.
BUMDes Papan Nama, Hidup Segan, Mati Tak Mau
Tak sedikit BUMDes yang hanya berhenti di papan nama. Ada gedung, ada plang, ada stempel, tapi aktivitas ekonomi nihil. Dana desa mengalir, laporan keuangan tipis, dan pengurus lebih sibuk menjaga formalitas daripada menghidupkan usaha rakyat.
Di sini kritik menjadi penting, apa gunanya BUMDes jika justru menjadi pesaing UMKM, bukan penopangnya?
Mengapa harus membuka unit usaha warung sembako milik BUMDes, sementara warung warga di sebelah sekarat?
Mengapa harus menjalankan bisnis transportasi yang tak efisien, sementara jalan desa pun rusak tak terurus?
Jika BUMDes hadir hanya untuk memotong rezeki rakyat kecil, maka tak lebih dari “perusahaan topeng”—indah di dokumen, rapuh di kenyataan.
Transparansi, Nafas yang Sering Dipalsukan
Camat Tunjungan, Lusiana, S.E., M.M., sudah menegaskan bahwa ada kewajiban desa mengalokasikan 20% Dana Desa untuk ketahanan pangan. Itu berarti ada uang rakyat yang harus dikelola BUMDes dengan hati-hati.
“Sehingga sudah menjadi kewajiban bagi BUMDes untuk membuat pertanggungjawaban dan laporan keuangan. Ingin kami, pengurus dapat menjalankan BUMDes sesuai dengan aturan dan tidak ada masalah,” ujar Lusiana.
Namun, apakah laporan keuangan selama ini benar-benar jujur? Atau hanya sekadar angka yang disalin demi menggugurkan kewajiban?
Di sinilah transparansi sering dipalsukan, ada catatan, tapi tanpa jiwa; ada laporan, tapi tanpa makna.
UMKM, Anak Tiri atau Anak Kandung?
Cepu Raya kaya dengan UMKM, pengrajin mebel Randublatung, pedagang minyak kecil di Cepu, petani jagung Kedungtuban, hingga kuliner khas di Jati. Tapi UMKM ini sering diperlakukan sebagai anak tiri. Jalan sendiri-sendiri, tanpa dukungan modal, tanpa jaringan pemasaran, tanpa fasilitas yang memadai.
Padahal, BUMDes seharusnya jadi ibu kandung yang memelihara mereka, yang :
-
menyediakan koperasi simpan pinjam,
-
mengelola gudang hasil panen,
-
menciptakan platform digital pemasaran produk,
-
membuka akses modal murah.
BUMDes yang justru bersaing dengan UMKM sama saja dengan seorang ibu yang mencuri roti dari anaknya.
Gugatan Moral untuk Cepu Raya
Mari jujur, BUMDes lahir dari musyawarah desa, dibiayai dari dana desa, dan dijalankan oleh orang-orang desa. Artinya, setiap rupiah yang mengalir adalah uang rakyat.
Kalau BUMDes ditutup-tutupi, siapa yang dirugikan? Rakyat sendiri. Kalau akuntabilitas diabaikan, siapa yang kehilangan? Desa itu sendiri.
Karena itu, transparansi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban moral. Tanpa itu, BUMDes hanyalah pengulangan sejarah Cepu Raya, kaya sumber daya, tapi miskin manfaat.
Lentera atau Bayangan?
BUMDes di Cepu Raya hari ini berada di persimpangan. Bisa menjadi lentera desa—yang menerangi jalan, menghangatkan UMKM, menyatukan solidaritas, dan mengangkat martabat rakyat.
Atau bisa menjadi bayangan—seperti kilang minyak dan hutan jati di masa lalu, terang bagi segelintir orang, gelap bagi banyak rakyat.
Pilihan itu ada di tangan pengurus desa. Tapi satu hal pasti, transparansi adalah nafas, akuntabilitas adalah jiwa, dan keberpihakan pada UMKM adalah tubuh dari BUMDes yang benar-benar hidup.
Cepu Raya sudah terlalu lama menjadi penonton sejarah. Saatnya menjadi pelaku.
