BUMDes Cepu Raya, Dari Papan Nama Menuju Lentera Desa

 

Suasana bimbingan teknis bagi pelaku BUMDes di Blora

Kabar dari Tunjungan hari ini seolah jadi kabar baik bagi desa-desa lain di Blora. Bimbingan teknis yang digelar di Raffles Ballroom bukan sekadar seremoni, melainkan simbol kecil bahwa tata kelola desa sudah mulai menapak ke arah yang lebih dewasa. Di sana, Camat Tunjungan mengingatkan pentingnya laporan keuangan, Panitia berharap ada manfaat nyata, dan para perangkat desa datang dengan batik serta surat tugas. Sebuah pemandangan sederhana, tapi sarat makna, bahwa good governance kini bukan lagi jargon elitis, melainkan sudah hadir di ruang desa.

Tentu, apresiasi ini patut diberikan. Sebab di tengah banyak isu tentang lemahnya pengawasan Dana Desa di berbagai wilayah Indonesia, Tunjungan memilih jalan berbeda, belajar bersama, memperkuat kapasitas, menegakkan akuntabilitas. Pertanyaannya kemudian, apakah semangat serupa juga mulai menyala di Kawasan Cepu Raya—yang meliputi Kecamatan Cepu, Sambong, Kedungtuban, Kradenan, Randublatung, dan Jati?


BUMDes Sebagai Harapan dan Cermin Desa

BUMDes sejak awal dirancang sebagai instrumen pembangunan ekonomi desa. Ia bukan sekadar unit bisnis kecil, melainkan wadah harapan—sebuah usaha kolektif yang membawa wajah desa di hadapan warganya sendiri. Di tangan BUMDes, desa belajar berniaga, mengelola keuangan, hingga menjaga ketahanan pangan.

Maka, BUMDes seharusnya menjadi cermin, apakah sebuah desa mampu menata dirinya secara profesional, transparan, dan akuntabel, ataukah hanya sekadar mengikuti tren tanpa substansi. Apalagi Cepu Raya bukan wilayah biasa. Ia adalah simpul ekonomi Blora, kawasan strategis dengan sejarah panjang minyak, hutan jati, dan perniagaan. Bila Tunjungan mampu menunjukkan keseriusan, seharusnya Cepu Raya bisa lebih jauh melangkah.


Tantangan Transparansi di Cepu Raya

Namun realitas di lapangan tak selalu seindah ideal. Masih banyak kisah BUMDes yang sekadar papan nama, laporan keuangan yang tipis, atau program yang macet di tengah jalan. Tidak sedikit pula BUMDes yang lebih dikendalikan oleh segelintir elite desa, sementara rakyat hanya menjadi penonton.

Dana Desa—yang seharusnya menjadi modal pembangunan—kadang dipandang sebagai “uang cair” yang mudah dihabiskan, tanpa perencanaan matang, tanpa laporan yang jernih. Di sinilah masalah itu mengendap: tanpa transparansi, tanpa akuntabilitas, BUMDes bisa kehilangan ruhnya.


Antara Cahaya dan Bayangan

Jika diibaratkan pelita, BUMDes memiliki potensi untuk menjadi penerang. Tetapi pelita hanya bisa menyala jika ada minyak yang cukup. Minyak itu adalah transparansi dan akuntabilitas. Tanpa keduanya, pelita akan meredup, padam ditiup angin kecurangan atau sekadar formalitas laporan.

Di Cepu Raya, BUMDes membutuhkan tradisi baru, laporan yang bukan sekadar formalitas di atas kertas, tetapi kesaksian jujur atas kepercayaan rakyat. Akuntabilitas yang tidak berhenti pada stempel tanda tangan, melainkan sampai pada rasa tanggung jawab moral di hadapan masyarakat desa.


Seruan Gugah Dari Desa untuk Negeri

BUMDes di Cepu Raya harus berani meneguhkan diri, bahwa uang publik menuntut akuntabilitas publik. Bahwa mengelola Dana Desa bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan tanggung jawab peradaban.

Para pengurus BUMDes mestinya menanggalkan pola lama sebagai “raja kecil” di desa. Mereka justru harus menjadi “abdi desa” yang siap membuka catatan keuangan, siap diuji, siap dievaluasi. Transparansi bukan ancaman, melainkan tameng; akuntabilitas bukan beban, melainkan kehormatan.

Apabila desa-desa di Cepu Raya mampu menapaki jalan ini, mereka bisa menjadi laboratorium good governance tingkat desa di Indonesia. Bayangkan, sebuah kawasan yang dulu dikenal sebagai ladang minyak dan hutan jati, kini menjadi kawasan dengan tata kelola desa yang jernih dan beradab.


Jalan Panjang Peradaban Desa

Transparansi dan akuntabilitas bukanlah kata-kata asing yang sulit dimengerti. Ia adalah sikap hidup yang sebenarnya sederhana, jujur dalam mencatat, tulus dalam melapor, konsisten dalam bekerja.

Cepu Raya harus diingatkan, bahwa masa depan desa tidak hanya ditentukan oleh berapa banyak proyek atau seberapa besar dana yang turun. Tetapi lebih dalam dari itu, apakah pengelolaannya bisa dipercaya, apakah rakyat merasa memiliki, dan apakah sejarah akan mencatat bahwa desa-desa di Cepu Raya pernah berani menapaki jalan terang.

Kritik ini bukan untuk merendahkan, melainkan untuk menggugah. Karena desa yang kuat, rakyat yang sejahtera, hanya lahir dari tata kelola yang benar. Dari desa kecil, peradaban besar bisa tumbuh.