Berorientasi Pelayanan, ASN Melihat Warga Sebagai Tujuan, Bukan Beban
Melayani itu bukan pekerjaan, melainkan panggilan.
Dalam setiap tatapan warga yang datang ke kantor pemerintah, seharusnya ASN melihat cermin dirinya sendiri, seseorang yang membutuhkan kejelasan, perhatian, dan keadilan.
Di situlah semangat “Berorientasi Pelayanan” menemukan maknanya — bukan sebagai jargon, tapi sebagai watak sejati aparatur negara.
Berorientasi Pelayanan
Ketika pemerintah menggulirkan nilai dasar BerAKHLAK, kata pertama yang muncul adalah “Berorientasi Pelayanan.”
Bukan tanpa alasan. Selama puluhan tahun, birokrasi kita sering dinilai lamban, formalistis, bahkan kadang arogan terhadap rakyat yang seharusnya dilayani.
Maka, orientasi pelayanan menjadi titik balik, dari paradigma “penguasa” menjadi “pelayan.”
Pelayanan publik bukan lagi tentang “berapa lama warga menunggu,” melainkan tentang seberapa nyaman warga diperlakukan.
ASN yang berorientasi pelayanan tahu bahwa warga bukan beban administrasi, melainkan tujuan utama keberadaannya.
“ASN sejati bukan hanya tahu cara melayani, tapi juga mengerti alasan kenapa ia harus melayani,”
kata seorang pejabat muda di Blora yang mencoba menerapkan sistem pelayanan satu pintu berbasis empati, bukan sekadar efisiensi.
Pelayanan yang Berhati, Bukan Sekadar Prosedur
Sayangnya, masih banyak pelayanan publik yang beroperasi dengan prinsip “asal selesai.”
Padahal, warga yang datang ke kantor pemerintah sering membawa harapan, kadang juga kegelisahan.
Senyum ASN, sikap mendengar, atau sekadar memanggil dengan sopan — bisa jadi determinant kecil yang mengubah citra negara di mata rakyat.
Berorientasi pelayanan berarti memandang manusia lebih dulu, baru dokumen menyusul.
Sebuah pergeseran besar dalam budaya birokrasi yang terbiasa memprioritaskan arsip daripada empati.
Pelayanan sebagai Cermin Keberadaban
Bagi bangsa yang besar seperti Indonesia, pelayanan publik sejatinya adalah tolok ukur peradaban.
Cara ASN memperlakukan warga mencerminkan bagaimana negara menghargai manusia.
Dan di situlah nilai BerAKHLAK menemukan wajahnya yang paling nyata, bukan di rapat-rapat reformasi birokrasi, tapi di meja loket, di ruang tunggu, di setiap interaksi kecil antara aparatur dan rakyat.
Melayani Adalah Bentuk Pengabdian, Bukan Perintah
ASN yang berorientasi pelayanan tidak butuh supervisi terus-menerus.
Karena semangatnya tumbuh dari kesadaran, bukan dari perintah atasan.
Ia tahu bahwa setiap formulir yang ia bantu selesaikan adalah bagian dari ibadah profesinya;
bahwa setiap warga yang pulang dengan wajah lega adalah indikator kinerja terbaik, jauh melampaui laporan kertas.
“Kalau birokrasi ingin dipercaya, maka ia harus lebih dulu bisa dipercaya untuk mendengarkan,”
begitu kata seorang tokoh masyarakat Cepu dalam dialog publik beberapa waktu lalu.
Menemukan Kembali Jiwa ASN
Nilai “Berorientasi Pelayanan” sebenarnya mengajak ASN untuk kembali ke jati dirinya:
abdi negara, abdi rakyat, dan penjaga martabat pelayanan publik.
Tidak lagi sekadar menjalankan tugas, tapi menghadirkan makna di setiap pelayanan.
Karena pada akhirnya, melayani bukan tentang prosedur, melainkan tentang kemanusiaan yang dihidupkan.
Dan di situlah, ASN bukan hanya bekerja untuk negara, tapi ikut menjaga nyala kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya.
Menjelma Menjadi Perilaku
Ketika ASN mulai melayani dengan hati, maka slogan “BerAKHLAK” berhenti menjadi tulisan di dinding. Kemudian menjelma menjadi perilaku, menjadi budaya baru dalam tubuh birokrasi Indonesia.
Dan dari titik itulah, kita bisa yakin bahwa negara benar-benar hadir — tidak dengan kekuasaan, tapi dengan kasih dan kepedulian.
.jpg)