Sejarah Demokrasi di Indonesia, Dari BPUPKI sampai Reformasi
Perjalanan demokrasi di Indonesia bisa dibilang mirip wayang kulit, ada adegan heroik, ada intrik, ada pula momen tragis yang bikin penonton tercengang. Dari ruang sidang kecil di masa pendudukan Jepang sampai gemuruh reformasi di jalanan Jakarta, demokrasi kita bukan jalur lurus, melainkan penuh tikungan tajam dan persimpangan sejarah.
Sidang BPUPKI & PPKI, Pondasi Demokrasi Indonesia
Di tengah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, BPUPKI lahir. Para pendiri bangsa berdebat keras soal dasar negara. Bung Karno dalam pidatonya 1 Juni 1945 mengumandangkan lima prinsip yang kemudian dikenal sebagai Pancasila,
“Kita mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, walaupun golongan kaya, tetapi semua buat semua.” – Soekarno
PPKI kemudian meresmikan UUD 1945, menetapkan Soekarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, serta membentuk KNIP. Meski masih serba terbatas, semangat demokrasi perwakilan mulai tumbuh.
Orde Lama, Demokrasi yang Tersendat
Demokrasi parlementer (1945–1959) memberi ruang partai-partai politik. Pemilu 1955 menjadi pesta demokrasi sejati pertama. Namun, kabinet yang jatuh bangun dan konflik ideologi membuat sistem ini goyah.
Soekarno kemudian mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang menandai lahirnya Demokrasi Terpimpin. Ia berkata,
“Kalau saya mengikuti hati saya, saya lebih suka disebut diktator, asal saya bisa menyelamatkan Republik ini. Tetapi saya tidak diktator. Saya terpimpin oleh hati nurani saya.” – Soekarno
Demokrasi berubah jadi panggung besar dengan Soekarno sebagai pusat orbitnya. Konsep Nasakom memperlihatkan upaya merangkul semua kekuatan, tetapi justru menimbulkan ketegangan yang kelak meledak.
Orde Baru, Demokrasi Semu dalam Stabilitas
Soeharto muncul sebagai penyelamat setelah krisis politik 1965. Dalam pidato awalnya ia menjanjikan,
“Kita laksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.” – Soeharto (1966)
Awalnya rakyat menaruh harapan. Namun, yang lahir justru demokrasi semu. Pemilu lima tahunan hanya formalitas karena pemenangnya bisa ditebak. Pers dibungkam, oposisi ditekan.
Meski begitu, Soeharto juga menekankan stabilitas dan pembangunan ekonomi. Salah satu ungkapannya yang terkenal,
“Yang penting rakyat bisa makan.” – Soeharto
Kalimat sederhana ini mencerminkan logika Orde Baru, stabilitas politik demi pertumbuhan ekonomi. Hasilnya, pembangunan memang melaju, tetapi demokrasi nyaris lumpuh.
Reformasi, Membuka Katup Demokrasi
Gelombang reformasi 1998 akhirnya mengguncang istana. Mahasiswa dan rakyat menuntut perubahan. Dalam pidato pengunduran dirinya, Soeharto berkata lirih,
“Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah mencermati pendapat-pendapat pimpinan DPR serta para tokoh masyarakat, saya memutuskan untuk berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saat saya bacakan pernyataan ini.” – Soeharto, 21 Mei 1998
Era baru pun dibuka oleh Presiden B.J. Habibie. Ia mendorong pemilu multipartai dan reformasi konstitusi. Habibie pernah menegaskan,
“Kebebasan adalah anugerah Tuhan. Tetapi kebebasan harus digunakan secara bertanggung jawab.” – B.J. Habibie
Sejak itu, demokrasi Indonesia menjadi lebih terbuka. Pemilu bebas, pers merdeka, otonomi daerah dijalankan.
Namun, tantangan tetap ada. Politik uang, oligarki, hingga polarisasi identitas masih menghantui. Demokrasi kita masih berproses, belajar dari kesalahan masa lalu sambil menatap masa depan.
Demokrasi yang Masih Berproses
Jika diringkas, demokrasi Indonesia adalah perjalanan penuh zig-zag. Dari semangat idealis BPUPKI, eksperimen parlementer, demokrasi terpimpin yang otoriter, demokrasi semu ala Orde Baru, hingga kebebasan Reformasi. Semua fase itu menunjukkan bahwa demokrasi di negeri ini tak sebatas sistem, melainkan arena perjuangan yang selalu dinegosiasikan ulang.
Demokrasi Indonesia belum selesai. Kita masih belajar, kadang goyah, kadang terjebak, tapi terus berusaha berdiri tegak. Sama seperti rakyatnya yang selalu menemukan cara bertahan dalam badai sejarah.
