Ketika Intelektualitas Absen dari DPRD Blora
Di atas kertas, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Blora adalah otak politik lokal. Mereka berjumlah hanya 45 orang—tidak sampai satu bus penuh—namun dipercaya rakyat untuk berpikir jernih, menimbang kebijakan, dan mengawal transparansi. Ironisnya, otak politik ini seringkali lebih sibuk berteriak daripada menyusun gagasan yang bisa diwariskan.
Kasus Makan Bergizi Gratis (MBG) memberi cermin yang jernih sekaligus getir. Ketika menu minimalis dari dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Manggir terungkap, ruang rapat Komisi D pun memanas. Subroto, Ketua Komisi, menggebrak dengan kalimat emosional—bahkan sampai mengatakan tidak masalah bila dirinya dibenci TNI. Suara memang bergemuruh, kamera merekam, publik tersentak. Tetapi yang hilang justru satu hal paling penting, yaitu jejak intelektual.
45 Kursi, Nol Paper
Bayangkan bila dari rapat panas itu lahir sebuah policy paper, berisi temuan, data lapangan, rekomendasi perbaikan menu, hingga peta tanggung jawab siapa berbuat apa. Bayangkan paper itu kemudian didistribusikan ke sekolah-sekolah, ke dapur-dapur SPPG, bahkan ke meja Bupati. Efeknya? Multiplier effect positif, rakyat bisa membaca, media bisa mengkritisi dengan basis data, akademisi bisa menjadikannya bahan riset, pemerintah bisa memperbaiki arah kebijakan.
Namun, yang muncul hanyalah potongan video marah-marah. Tak ada dokumen analitis, tak ada karya yang bisa dibaca ulang. Budaya intelektual seolah absen di kursi DPRD Blora.
Pentingnya Tradisi Menulis
Budaya intelektual bukan sekadar gaya. Ia adalah roh yang membuat wakil rakyat dihargai. Dengan menulis paper, DPRD menampilkan bukti, bukan hanya emosi. Paper juga berfungsi edukatif—membuka wawasan masyarakat tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik jargon program populis. Transparansi pun lahir bukan dari teriakan, melainkan dari dokumen yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sayangnya, di Blora, jejak itu jarang terlihat. Ruang rapat DPRD lebih sering jadi panggung orasi politik daripada bengkel gagasan.
Jembatan Kaca yang Retak
Sementara itu, pihak lain justru harus menambal retakan komunikasi. Kodim 0721/Blora terpaksa menggelar konferensi pers untuk menjelaskan bahwa TNI hanya berperan sebagai pengawas, bukan beking dapur Makan Bergizi Gratis. SPPG terjebak dalam pasal kerahasiaan yang absurd, seakan melarang bicara meski terjadi keracunan. Dinas Pendidikan memilih diam, menutup mulut dengan alasan “aturan dari pusat”.
Akhirnya, jembatan kaca komunikasi yang mestinya bening menjadi rapuh. Rakyat yang melintas di atasnya merasa ngeri, kalau program bergizi saja penuh misteri, bagaimana nasib kebijakan lainnya?
Potensi yang Tersia-siakan
Padahal potensi DPRD Blora besar sekali. Dengan hanya 45 orang, mereka bisa menjadi think tank lokal. Mereka punya akses ke data, punya wewenang politik, punya panggung publik. Kalau saja mereka memilih menulis, berpikir, lalu bertindak berdasarkan analisa, Blora bisa menjadi laboratorium transparansi.
Paper DPRD bisa jadi dokumen sejarah, catatan abadi tentang bagaimana Blora menjaga anak-anaknya dari menu minimalis dan program yang setengah hati. Sebaliknya, tanpa jejak intelektual, DPRD hanya meninggalkan suara gaduh yang cepat menguap.
Hipotesa
Rakyat membayar mereka bukan sekadar untuk hadir di rapat atau berfoto di baliho. Rakyat membayar mereka untuk berpikir, menimbang, lalu melahirkan kebijakan yang bermuara pada kemakmuran. Blora tidak butuh teriakan emosional semata. Blora butuh pena yang menulis, gagasan yang hidup, dan wakil rakyat yang berani menjadi intelektual.
Jika tidak, 45 kursi itu hanya akan menjadi panggung kosong. Dan jembatan kaca yang rapuh itu bisa runtuh—meninggalkan rakyat di bawahnya, jatuh tanpa penyangga.
