Gastra Menyapa Desa, Antara Semangat Sedekah dan Realitas Ekonomi Rakyat
Bupati Blora Arief Rohman menggencarkan Gerakan Sedekah Subuh dan Gerakan Subuh Sejahtera (Gastra) hingga desa-desa. Program ini meliputi shalat subuh berjamaah, dzikir, tausiyah, santunan yatim, hingga infaq koin ASN. Namun, di tengah kondisi ekonomi sulit, muncul kritik, jangan sampai Gastra jadi beban sosial bagi masyarakat desa yang hidup pas-pasan.
Antara Gerakan Spiritual dan Tekanan Sosial
Gastra awalnya digagas untuk menghidupkan masjid di waktu subuh, membiasakan sedekah, serta menyatukan umat dalam doa dan kepedulian. Di level kabupaten, program ini tampak berjalan indah, pejabat hadir, santunan anak yatim dibagikan, suasana religius tercipta.
Namun, ketika wacana diperluas hingga desa, problematika mulai kentara. Jumlah penduduk desa jauh melampaui total ASN di Blora. Bahkan banyak ASN yang tinggal di desa pun tidak berada dalam posisi mapan—guru, pegawai kecil, staf teknis, yang gajinya pas-pasan.
Di sisi lain, kultur desa punya “rasa malu” yang tinggi. Ketika kotak amal diputar, siapa pun yang tidak memasukkan uang akan merasa tertekan. Sedekah yang seharusnya lahir dari hati, bisa berubah menjadi ritual untuk menghindari cibiran.
Ekonomi Sulit, Rakyat Dicekik
Awal September ini, kondisi ekonomi justru berat. Harga sembako merangkak naik, UMKM kesulitan modal, petani merugi karena pupuk dan hasil panen tak seimbang, nelayan pun menjerit. Secara makro, inflasi dan pelemahan daya beli menambah daftar panjang kegelisahan rakyat.
Di tengah situasi ini, apakah bijak jika program sedekah difokuskan pada rakyat kecil di desa? Bukankah negara seharusnya hadir untuk meringankan beban mereka, bukan sebaliknya?
Potensi ASN, Teladan atau Beban?
Bupati menggaungkan infaq koin subuh ASN sebagai motor penggerak. Jumlah ASN di Blora hampir 10 ribu, dengan potensi sedekah yang besar. Namun, fakta di lapangan menunjukkan tidak semua ASN hidup berkecukupan. Banyak yang masih dihantui cicilan, kebutuhan keluarga, dan biaya pendidikan anak.
Jika mereka dipaksa tampil dermawan, bukankah itu justru menambah beban psikologis? Sedekah harusnya lahir dari kesadaran, bukan dari rasa takut dicap pelit.
Masyarakat Cepu Raya, Mau Apa dengan Sedekah Ini?
Di tengah hingar bingar Gastra, pertanyaan mendasar muncul, untuk apa sebenarnya sedekah ini dikumpulkan? Apakah transparan penggunaannya? Benarkah hasil koin subuh akan kembali kepada rakyat yang paling membutuhkan, atau justru menguap tanpa jejak jelas?
Masyarakat Cepu Raya tentu berhak bertanya, bahkan menagih :
-
Siapa yang mengelola dana sedekah?
-
Bagaimana pelaporannya?
-
Apakah ada mekanisme audit terbuka?
-
Benarkah semua kembali kepada masyarakat kecil, atau hanya segelintir yang menikmati?
Tanpa tata kelola yang rapi dan transparan, sedekah bisa berubah jadi sumber kecurigaan. Bukannya menumbuhkan keikhlasan, justru melahirkan rasa sinis.
Sedekah, Ibadah atau Beban?
Sedekah itu ibadah pribadi. Ia indah bila lahir dari hati, bukan karena malu, takut, atau dipaksa suasana. Jika diubah menjadi gerakan massal tanpa pengawasan, maka masyarakat bisa mempertanyakan : benarkah ini ibadah, atau sekadar beban sosial yang terbungkus seremonial?
Lebih baik Pemkab jujur menjawab, apakah Gastra ini benar-benar gerakan spiritual, atau ada kepentingan lain di baliknya?
Alternatif, Kuliah Subuh Keliling yang Mencerahkan
Ada gagasan lain yang mungkin lebih tepat. Alih-alih memaksa warga desa untuk menyetor sedekah koin, mengapa tidak digencarkan kuliah subuh keliling oleh Bupati dan jajaran?
Isinya bukan sekadar tausiyah agama, melainkan motivasi berbasis nilai religi :
-
Menumbuhkan karakter sumarah (pasrah kepada takdir Tuhan), sekaligus menanamkan semangat ikhtiar.
-
Mengajak warga berpikir bersama bagaimana mengembangkan pertanian, UMKM, jasa, hingga industri rumahan.
-
Menyerap langsung aspirasi rakyat di masjid-masjid desa, lalu dibawa ke meja kebijakan Pemkab.
Dengan begitu, subuh bukan hanya waktu doa, tapi juga ruang musyawarah kecil antara pemimpin dan rakyatnya.
Harapan untuk Gastra
Gastra bisa jadi gerakan berharga bila diarahkan dengan benar. Tetapi rakyat Cepu Raya perlu menegaskan, kami butuh program yang membebaskan, bukan membebani. Sedekah boleh, asal ikhlas dan transparan. Namun yang lebih penting, Pemkab hadir memberi jalan, pupuk yang terjangkau, pasar yang sehat untuk UMKM, lapangan kerja baru, serta industri rumahan yang tumbuh.
Jika itu semua dilakukan, barulah Gastra punya ruh. Ia bukan lagi sekadar kotak amal berputar, melainkan gerakan nyata yang menyambungkan spiritualitas dengan kesejahteraan rakyat.
Jangan Jadikan Rakyat Objek Seremonial
Gastra seharusnya bukan “alat uji” seberapa besar rakyat mau berbagi, tetapi cermin sejauh mana pemimpin berani memberi teladan. Jangan sampai semangat religiusitas berubah jadi proyek seremonial yang justru menambah beban psikologis masyarakat desa.
Rakyat butuh inspirasi, bukan instruksi. Butuh teladan, bukan tekanan. Butuh pemimpin yang bukan hanya bisa mengajak bersedekah, tapi juga berani memastikan bahwa setiap rupiah sedekah kembali untuk kemaslahatan rakyat yang paling membutuhkan.
