Loyal, Setia Pada Konstitusi, Bukan Kekuasaan

Seorang ASN menandatangani pakta integritas di depan bendera Merah Putih, simbol kesetiaan pada negara

Kesetiaan adalah kata yang indah, tapi juga berbahaya.
Ia bisa melahirkan pengabdian, tapi juga kebutaan.
Di tangan seorang aparatur negara, kesetiaan menentukan arah, apakah ia akan berdiri tegak di bawah konstitusi,
atau berlutut di hadapan kekuasaan.


Setia Pada Negara dan Konstitusi

Dalam nilai BerAKHLAK, kata “Loyal” sering disalahpahami.
Banyak yang mengartikan loyalitas sebagai kepatuhan mutlak pada atasan.
Padahal, loyal bagi seorang ASN tidak berhenti di ruang perintah birokrasi —
ia berakar lebih dalam, pada kesetiaan terhadap cita-cita negara dan konstitusi.

Loyal berarti teguh pada sumpah jabatan, pada nilai-nilai dasar Pancasila,
dan pada amanat UUD 1945 yang menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan tertinggi.
Loyal bukan berarti manut tanpa berpikir,
melainkan berani berkata tidak saat kebijakan menyimpang dari hukum dan nurani.


Loyalitas yang Menyilaukan

Kekuasaan itu punya daya sihir.
Ia bisa membuat orang kehilangan arah —
menganggap perintah atasan lebih suci dari kebenaran itu sendiri.
Di sinilah banyak ASN tersesat, dalam ketakutan akan mutasi, ancaman jabatan, atau sekadar mencari “aman”.

Padahal sejarah mencatat, negara runtuh bukan karena rakyatnya miskin,
tapi karena para pengabdi negaranya berhenti berpihak pada kebenaran.

“Kesetiaan tanpa prinsip hanyalah bentuk baru dari pengkhianatan,”
tulis seorang reformis birokrasi dalam catatan pribadinya yang kemudian tersebar di kalangan ASN muda.


Setia pada Konstitusi, Bukan Figur

ASN yang sejati memahami garis demarkasi antara pemerintah dan negara.
Pemerintah bisa berganti, tapi negara tetap harus berdiri.
Maka loyalitas ASN bukan kepada siapa yang berkuasa,
melainkan kepada sistem yang memastikan kekuasaan berjalan benar.

Setia pada konstitusi berarti setia pada rakyat,
karena di sanalah suara rakyat dititipkan.
Bila ASN tunduk pada figur, ia menjadi alat.
Tapi bila tunduk pada konstitusi, ia menjadi penjaga republik.


Loyalitas dalam Kesunyian

Kesetiaan yang sejati tidak selalu tampak heroik.
Sering kali justru sunyi — saat seorang ASN menolak menandatangani dokumen yang ia tahu cacat hukum,
atau ketika ia tetap melayani masyarakat meski tekanan politik datang dari segala arah.

Mereka inilah yang sesungguhnya menghidupkan nilai Loyal dalam BerAKHLAK.
Tidak dengan slogan, tapi dengan pilihan-pilihan kecil yang berisiko.
Loyal bukan karena takut kehilangan jabatan,
tapi karena takut mengkhianati nurani bangsa.


Menjaga Loyalitas di Era Politik Identitas

Di era digital, loyalitas ASN diuji lebih berat.
Media sosial menjadikan batas antara pribadi dan jabatan makin kabur.
Kecenderungan politik pribadi sering kali terbawa ke ruang publik —
dan di situlah, integritas ASN diuji, apakah ia masih berdiri di tengah, atau mulai condong pada satu kubu.

ASN yang loyal tahu, bahwa tugasnya bukan ikut arus,
melainkan menjaga keseimbangan arus.


Pengikat ASN dengan Bangsa

Loyalitas adalah tali yang mengikat ASN dengan bangsa.
Namun tali itu harus diikat pada tiang yang benar —
bukan pada kursi kekuasaan, tapi pada pilar konstitusi.

ASN yang loyal bukanlah mereka yang paling cepat mengangguk,
melainkan mereka yang paling teguh berdiri ketika kebenaran mulai goyah.
Karena pengabdian sejati bukan soal siapa yang memerintah,
tetapi untuk siapa kita bekerja —
untuk rakyat, dan untuk Indonesia yang selalu kita jaga dengan hati.