Kompeten, ASN Zaman Baru Harus Mau Belajar Ulang

ASN mengikuti pelatihan digital government sambil berdiskusi aktif dengan rekan kerja

Zaman bergerak lebih cepat dari ritme birokrasi.
Teknologi melesat, dunia berubah, sementara sebagian aparatur masih terpaku pada cara lama.
Padahal, dalam nilai BerAKHLAK, kata Kompeten bukan sekadar kemampuan teknis — melainkan kesediaan untuk terus belajar ulang, bahkan terhadap hal-hal yang dulu dianggap sudah dikuasai.


Kompeten, Belum Merasa Cukup

ASN yang kompeten bukan hanya yang punya ijazah tinggi, tapi yang berani mengakui bahwa pengetahuannya sudah usang.
Karena di era digital ini, kecepatan belajar jauh lebih penting daripada lama bekerja.
Setiap tahun, aturan, teknologi, bahkan bahasa birokrasi bisa berubah — dan ASN yang enggan menyesuaikan diri akan perlahan tersisih dari arus zaman.

“Yang membuat ASN tertinggal bukan kurang pintar, tapi terlalu yakin bahwa dirinya sudah cukup,”
ujar seorang widyaiswara di Lembaga Administrasi Negara dalam sebuah sesi pelatihan daring.

Kompeten berarti sadar bahwa ilmu adalah mata air yang tak boleh berhenti mengalir.
ASN yang berhenti belajar, sejatinya sedang menggali kubur profesionalismenya sendiri.


Bekerja dengan Ilmu, Bukan Kebiasaan

Kita sering temui di lapangan: banyak pekerjaan dijalankan “karena sudah begitu dari dulu.”
Padahal, dunia birokrasi kini menuntut cara berpikir kritis, berbasis data, dan mampu membaca konteks global.
ASN kompeten tidak lagi sekadar mengikuti prosedur, tapi memahami makna di balik prosedur itu.

Birokrasi tanpa kompetensi ibarat mesin tanpa pelumas: tetap berjalan, tapi cepat panas dan mudah rusak.
Sementara ASN yang kompeten menjadikan setiap tugas sebagai ruang belajar — bukan beban, tapi peluang tumbuh.


Belajar Ulang: Kerendahan Hati Intelektual

Kompetensi sejati lahir dari kerendahan hati untuk belajar ulang.
Tidak ada istilah “saya sudah tahu” dalam dunia yang terus bergerak.
ASN harus siap duduk kembali di bangku pelatihan, membuka pikiran terhadap ide-ide baru, bahkan dari generasi muda.

“Dulu saya yang mengajari anak saya mengetik. Sekarang, dia yang mengajari saya cara tanda tangan digital,”
ujar seorang pejabat eselon di Blora sambil tersenyum getir.
“Dan saya sadar, kalau tak belajar, saya akan kalah bukan karena bodoh, tapi karena malas.”


Membangun Budaya Kompeten

Menjadi kompeten tidak cukup dengan pelatihan formal.
Harus ada budaya organisasi yang menghargai pengetahuan.
Pemimpin yang kompeten bukan yang paling tahu, tapi yang paling banyak memberi ruang belajar bagi timnya.
ASN yang kompeten tak takut salah, karena dari kesalahan itulah lahir kebijaksanaan.

Kompetensi juga bukan milik individu saja, tapi tanggung jawab institusi.
Kantor yang hidup dengan semangat belajar akan menulari warganya — setiap diskusi jadi ruang tumbuh, setiap evaluasi jadi momentum naik level.


Kompetensi dan Martabat Pelayanan

Pelayanan publik yang buruk seringkali bukan karena niat jahat, tapi karena kurangnya kompetensi.
Pegawai yang tidak memahami sistem, tidak menguasai aplikasi, atau tak tahu kebijakan terkini — akhirnya membuat masyarakat menunggu lebih lama, merasa lebih rumit, dan kehilangan kepercayaan.
Maka, menjadi kompeten adalah bagian dari menjaga martabat negara.

ASN yang menguasai ilmu dan teknologi bukan hanya efisien, tapi juga menunjukkan bahwa birokrasi kita tidak tertinggal oleh zaman yang ia layani.


Penutup

Kompetensi bukan soal pintar, tapi soal mau belajar.
Bukan soal jabatan, tapi soal kesediaan memperbarui diri setiap hari.
Karena birokrasi yang maju hanya bisa berdiri di atas aparatur yang tak berhenti menimba ilmu.

Jadi, kalau dunia berubah setiap detik, maka ASN yang diam adalah ASN yang tertinggal.
Dan mereka yang mau belajar ulang — merekalah wajah baru Indonesia yang BerAKHLAK.