Di Antara Neon Box dan Kardus Lowongan, Esai tentang Cepu yang Mulai Sepi

 

Jalan Diponegoro Cepu saat hujan sore, lengang, dengan toko-toko tua yang sebagian tutup

Hujan sore di Cepu membawa kenangan yang pedih. Jalan Diponegoro, Stasiun Kota, hingga Ngareng kini sepi, meninggalkan bayangan toko-toko lama milik keturunan Tionghoa yang dulu hidup dan menghidupi banyak orang.


Hujan sore ini turun pelan, tapi cukup deras untuk membuat saya menurunkan kecepatan motor. Di balik raincoat yang menempel di tubuh, saya membiarkan pikiran melayang sepanjang Jalan Diponegoro, melintas ke Stasiun Kota, lalu menembus Jalan Ngareng. Jalanan yang dulu riuh oleh teriakan pedagang, aroma masakan, dan tawa para buruh, kini terasa lengang—sepi tapi tak sepenuhnya sunyi.

Di kanan kiri, bangunan-bangunan tua berdiri seperti kenangan yang belum rela pergi. Dulu, di deretan itu banyak toko milik keturunan Tionghoa. Mereka menjual apa saja yang dibutuhkan warga: beras, gula, pakaian, hingga onderdil motor. Tak sedikit pula yang memberi pekerjaan pada pemuda-pemudi lokal—sekadar jadi kuli angkut, penjaga toko, atau tukang cat. Hidup mereka sederhana, tapi nyata. Mereka tumbuh, menua, bahkan mati di sini.

Sekarang, sebagian besar toko itu tutup. Beberapa diganti papan nama berlampu, dengan tulisan asing yang menjual produk-produk yang entah siapa pembelinya. Ada neon box baru, tapi tak lagi menawarkan harapan. Barang-barang yang terpajang bukan kebutuhan hidup, melainkan simbol gaya hidup. Di kota kecil seperti Cepu, papan-papan itu justru terasa dingin—terlalu rapi untuk sebuah kota yang seharusnya berdebu dan bersahaja.

Entah kenapa, saya membayangkan satu hal sederhana:
Seandainya setiap sepuluh meter di jalan ini ada selembar kardus bertuliskan “LOWONGAN KERJA”, “DIBUTUHKAN TENAGA A, B, C”, mungkin wajah kota ini akan terlihat lebih manusiawi. Mungkin hujan sore tak akan terasa sesepi ini. Karena di balik setiap tulisan lowongan itu, ada harapan, ada hidup, ada alasan untuk tetap bertahan di tanah sendiri.

Masih di atas motor yang pelan, saya sadar betapa kota ini sudah banyak berubah. Orang-orang yang dulu hidup dari kerja keras kini bergeser entah ke mana. Ada yang merantau, ada yang menyerah, ada pula yang diam saja, menunggu waktu. Di tikungan-tikungan yang dulu ramai, kini hanya suara hujan dan deru kendaraan lewat tanpa sempat berhenti.

Cepu yang saya kenal dulu bukan kota besar, tapi kota yang hidup dengan irama manusia. Setiap pagi terdengar sapaan tukang sayur, derit pintu toko yang dibuka, dan suara anak-anak berangkat sekolah. Sekarang, yang terdengar hanyalah bunyi kendaraan cepat dan musik dari speaker toko modern—dingin, tak menyapa siapa pun.

Kemajuan memang datang, tapi dengan harga yang mahal: hilangnya rasa saling membutuhkan.
Toko-toko kecil yang dulu jadi tempat bernaung, digantikan oleh sistem yang tak kenal nama. Anak muda yang dulu bangga kerja di toko lokal, kini lebih sering jadi “kurir sementara” — mengantar barang yang bahkan tak ia mampu beli sendiri. Ironi yang tak terucapkan, tapi terasakan di setiap sudut kota.

Saya kadang bertanya dalam hati:
Apa gunanya lampu-lampu terang, bila tak ada senyum di balik kaca etalase? Apa gunanya jalan mulus, bila langkah kaki pekerja makin jarang terdengar?

Namun di antara keheningan sore dan basah aspal jalanan, saya sadar: Cepu tak sedang mati, ia hanya menunggu untuk diingat. Menunggu ada yang mau menoleh lagi, menata ulang arah hidup kota yang pernah berdenyut karena kerja keras tangan-tangan kecil.

Barangkali perubahan memang tak bisa kita tolak. Tapi bukankah manusia selalu punya pilihan untuk tetap hangat, di tengah dinginnya zaman? Kita bisa membangun lagi—bukan sekadar gedung atau toko, tapi rasa memiliki. Karena kota tanpa rasa itu ibarat rumah tanpa penghuni: berdiri, tapi kosong.

Saya membayangkan suatu hari nanti, mungkin bukan neon box yang berjejer di Jalan Diponegoro, tapi kertas-kertas kardus dengan tulisan tangan sederhana:
“DIBUTUHKAN TENAGA KERJA.”
Tulisan yang sederhana, tapi jujur. Yang menandakan masih ada kehidupan, masih ada kebutuhan, masih ada kesempatan untuk saling menolong.

Kota kecil ini, dengan segala kesepiannya, mengajarkan bahwa pembangunan sejati bukan diukur dari jumlah toko modern, melainkan dari seberapa banyak orang bisa hidup layak di dalamnya.
Dan di situlah, barangkali, letak kebahagiaan yang paling manusiawi: ketika setiap orang, sekecil apa pun perannya, masih punya tempat untuk bekerja, bermimpi, dan pulang.