Cepu Development Authority, sebuah Lembaga Imajiner

Potret drone kawasan Cepu dengan kombinasi permukiman, kilang, dan jalur Bengawan Solo yang menggambarkan kompleksitas tata ruang

🧭 Sebuah Kota Kecil yang Butuh Koordinasi Besar

Cepu bukan kota besar, tapi urusannya tak kecil. Di sini kilang minyak tua berdiri berdampingan dengan permukiman padat, pasar tradisional berhimpitan dengan gedung modern, dan sungai besar membelah kawasan industri. Semua itu menandakan satu hal, Cepu tumbuh tanpa orkestra.

Dalam situasi seperti ini, wajar kalau muncul ide gila tapi masuk akal, membentuk “Cepu Development Authority” (CDA) — semacam lembaga otonom yang mengurus tata kota, investasi, dan lingkungan secara terpadu.

Imajiner? Ya. Tapi kalau tidak dimulai dari imajinasi, perubahan besar tidak akan pernah punya arah.


🧩 Belajar dari URA-nya Singapura

Singapura punya lembaga bernama Urban Redevelopment Authority (URA) — otorita yang bukan sekadar ngatur bangunan, tapi mengatur masa depan kota.
URA-lah yang membuat Singapura bisa tumbuh rapat tapi rapi, sempit tapi efisien.
Setiap gedung, taman, bahkan trotoar, lahir dari master plan yang dirancang lintas dekade.

Lembaga seperti ini menuntut adanya : 

  1. Data akurat tentang tata ruang dan sosial ekonomi.

  2. Koordinasi lintas instansi tanpa ego sektoral.

  3. Keberanian mengambil keputusan jangka panjang, bahkan yang tidak populer.

Cepu, dengan segala kompleksitasnya—migas, sungai, perbatasan provinsi, dan sejarah kolonial—sebenarnya butuh lembaga semacam itu.


🏗️ Mengapa Cepu Perlu Otorita Sendiri?

1. Karena Kompleksitasnya Nyata

Cepu bukan sekadar kecamatan kecil. Cepu adalah “kota energi” yang memikul beban strategis nasional.
Kilang, jalur logistik, dan kawasan permukiman berdesakan tanpa peta besar yang menyatukan.
Tanpa lembaga yang berperan sebagai “konduktor pembangunan,” semua pihak berjalan sendiri-sendiri: Dinas A bangun jalan, Dinas B urus drainase, Dinas C bikin taman—tanpa tahu bagaimana semuanya berhubungan.

2. Karena Regulasi Sering Menabrak Satu Sama Lain

Birokrasi yang gemuk sering kali menghambat sinkronisasi.
CDA bisa jadi “pintu tunggal” yang mengoordinasikan proyek lintas dinas, lintas desa, bahkan lintas kabupaten jika perlu.
Dengan begitu, Cepu punya arah pembangunan yang konsisten, tidak bergantung pada “selera pejabat yang sedang menjabat.”

3. Karena Cepu Butuh Rencana Panjang, Bukan Panjang Rencana

Banyak daerah jatuh dalam jebakan, terlalu banyak rencana, tapi tidak ada yang berlanjut.
CDA bisa membuat masterplan 30 tahun Cepu, lengkap dengan prioritas tahapan, indikator keberhasilan, dan strategi pembiayaan.
Setiap proyek baru harus cocok dengan cetak biru itu — bukan sebaliknya.


🌱 Seperti Apa Bentuk “CDA” Versi Lokal Itu?

Bayangkan lembaga kecil dengan komposisi berikut:

  • Ketua profesional, dipilih lewat seleksi terbuka.

  • Tim teknis tetap, arsitek, ahli tata kota, ekonom lokal, ahli sosial, dan perwakilan masyarakat.

  • Status semi-otonom, di bawah Pemkab, tapi diberi mandat khusus untuk lintas koordinasi.

  • Tugas utama, menyiapkan perencanaan, evaluasi, dan laporan keberlanjutan pembangunan Cepu.

Dengan model seperti itu, CDA bukan lembaga birokrasi baru, tapi alat koordinasi yang lincah dan visioner.


💡 Bukan Lembaga Baru, Tapi Cara Baru Berpikir

Kita sering alergi mendengar istilah “bikin lembaga baru.” Tapi sejatinya, yang dibutuhkan bukan lembaganya, melainkan pola pikirnya.
Pola pikir yang tidak sektoral, tidak pragmatis, dan tidak tergesa-gesa.
CDA bisa jadi simbol dari pola pikir baru itu — sebuah kesadaran bahwa Cepu harus dikelola seperti kota strategis, bukan sekadar wilayah administratif.


⚖️ Tantangan Politik dan Ego Sektoral

Masalah paling sulit bukan teknis, tapi psikologis.
Apakah pemangku kebijakan siap melepaskan ego sektoral dan membuka data ke lembaga lintas instansi?
Apakah masyarakat siap diajak berpikir jangka panjang, bukan sekadar proyek cepat jadi?
Pertanyaan-pertanyaan ini menentukan apakah CDA akan jadi kenyataan, atau sekadar wacana “mewah” di meja diskusi.


🌅 Dari Imajinasi ke Tindakan

“Imajiner” sering dipakai untuk mengecilkan ide yang besar. Tapi dalam sejarah, semua yang besar justru berawal dari imajinasi,
Bandara, jembatan, bahkan Singapura modern — semuanya dulu dianggap mustahil.

Cepu tidak butuh meniru bentuk Singapura, cukup meniru keberanian berpikir sistematis.
Dan “Cepu Development Authority” mungkin hanyalah nama simbolik — tapi simbol itu penting untuk mengingatkan kita bahwa pembangunan tanpa arah adalah kesibukan tanpa makna.

“Kota kecil pun berhak punya visi besar, asalkan mau dikelola dengan cara besar.”