Cepu Bisa Jadi Kayak Singapura, Asalkan...
🧭 Kota Kecil, Mimpi Besar
Kota Cepu itu ibarat rumah kecil di tepi jalur besar. Luasnya sempit, jalannya ramai, dan sejarahnya padat. Tapi di balik sempitnya ruang, tersimpan peluang luar biasa, energi, pengetahuan, dan semangat. Pertanyaannya, mungkinkah kota sekecil Cepu bermimpi setinggi Singapura?
Singapura pada 1960-an juga bukan apa-apa. Negeri rawa penuh kampung kumuh, miskin sumber daya, bahkan air pun harus impor. Tapi di tangan Lee Kuan Yew, semuanya berubah. Dalam 30 tahun, negeri itu bertransformasi menjadi salah satu kota paling disiplin, bersih, dan efisien di dunia.
Jadi... kalau Singapura bisa, kenapa Cepu tidak?
🌏 Belajar dari Singapura, Negara Kecil, Disiplin Besar
Lee Kuan Yew bukan pesulap. Perdasna Menteri Singapura era 80'an ini hanya punya tiga resep, pemerintahan yang bersih, rakyat yang disiplin, dan visi panjang yang tidak bisa dinegosiasi.
Semua kebijakan dijalankan dengan meritokrasi. Jabatan bukan untuk yang paling dekat, tapi untuk yang paling cakap. Warganya dididik mencintai keteraturan—mulai dari membuang sampah hingga menanam pohon. Tata kota disusun hingga 50 tahun ke depan, bukan lima tahun masa jabatan.
Singapura membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang, asal ada kepemimpinan yang konsisten dan rakyat yang mau ikut tertib.
🌱 Cepu Cermin yang Belum Digosok
Cepu punya semua bahan baku untuk maju, sejarah migas yang panjang, posisi strategis di jalur antarprovinsi, dan karakter masyarakat yang keras tapi hangat. Cepu adalah simpul Jawa yang menyimpan ingatan industri dan energi sejak zaman kolonial.
Namun, kota ini juga masih berkutat dengan masalah klasik, tata ruang yang semrawut, birokrasi yang lamban, dan perilaku warga yang setengah modern, setengah tradisional. Cepu seperti cermin antik yang kusam—berharga, tapi belum digosok sampai berkilau.
⚙️ Tiga Syarat Reformasi ala “Lee Kuan Yew Lokal”
1. Pemerintahan yang Tegas dan Meritokratis
Cepu butuh aparatur yang bukan sekadar “hadir,” tapi berpikir dan bekerja dengan hati-hati.
Reformasi kecil bisa dimulai dari hal sederhana, jabatan diisi berdasarkan kinerja, bukan koneksi. Transparansi bukan slogan, tapi sistem kerja.
Bentuk lembaga seperti “Cepu Development Authority” — mirip Urban Redevelopment Authority di Singapura — untuk menata pembangunan lintas instansi.
2. Tata Kota Hijau dan Terpadu
Setiap pembangunan harus berangkat dari master plan jangka panjang.
Kawasan kilang, pasar, sungai, dan perumahan harus diatur dengan logika ekologis, bukan sekadar “yang penting berdiri.”
Cepu bisa jadi model green compact city — kota padat tapi nyaman, dengan hutan kota, jalur sepeda, dan ruang publik bersih.
3. Budaya Warga, Disiplin, Resik, Bangga Lokal
Revolusi sejati justru dimulai dari kebiasaan.
Membuang sampah pada tempatnya, menata taman, menjaga got, menepati waktu, jujur dalam dagang—itu semua bentuk patriotisme.
Cepu perlu kampanye moral yang membumi, “Ora isin dadi wong resikan.”
Dari situ lahir rasa bangga yang otentik, kecil tapi tertib, sederhana tapi bermartabat.
💰 Ekonomi Mini–Negara Kota
Bayangkan kalau Cepu dikelola seperti kota otonom kecil.
Sumber daya migas tetap dijaga, tapi ekonomi baru dikembangkan, wisata edukatif migas, industri digital desa, dan UMKM heritage yang dikelola profesional.
BUMDes bisa diubah jadi mini GLC—Government Linked Companies—yang kuat dan transparan, bukan sekadar lembaga penyalur bantuan.
Investasi boleh datang, tapi dengan batasan keberlanjutan (sustainability clause). Cepu harus tetap milik warganya, bukan milik investor luar.
⚖️ Mentalitas Penghambat yang Harus Ditantang
Perubahan bukan soal dana, tapi mental.
Masih banyak budaya lama yang jadi rem, pejabat yang nyaman di zona abu-abu, birokrasi yang takut salah, warga yang permisif terhadap pelanggaran kecil.
Kata orang, “Cepu kok yo isih ngono-ngono wae, gak enek kemajuan blass.”
Padahal, kalimat “wes biasa” itu sering kali jadi kuburan kemajuan.
Butuh figur lokal yang berani menabrak kenyamanan, menolak basa-basi, dan berkata jujur meski sendirian.
🌅 Cepu Baru, Mimpi Lama yang Layak Diperjuangkan
Cepu tak harus meniru Singapura sepenuhnya. Cepu cukup meniru semangatnya.
Menjadi “Singapura rasa Jawa” — kota kecil yang tertib, hijau, efisien, tapi tetap hangat, guyub, dan berjiwa gotong royong.
Reformasi sejati bukan soal mengganti wajah kota, tapi menata ulang mental manusianya.
Lee Kuan Yew memulai dari nol di tanah sempit. Cepu pun bisa—kalau berani menata diri, bukan sekadar menata orang lain.
