Sejarah Kayu Jati Blora dari Alas Randublatung sampai Pasar Ekspor Dunia

Hutan jati Blora di kawasan Alas Randublatung, ikon ekonomi dan identitas Cepu Raya

Blora tidak hanya dikenal dengan minyak Cepu, tetapi juga dengan hutan jati yang membentang luas hingga ke perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari Alas Randublatung yang legendaris, kayu jati Blora sudah lama menjadi kebanggaan, sumber penghidupan, sekaligus komoditas dunia. Jati di Blora bukan sekadar kayu, ia adalah identitas, sejarah, dan masa depan.


Jejak Sejarah Kayu Jati di Tanah Blora

Kayu jati sudah dikenal sejak era Kerajaan Majapahit sebagai bahan utama bangunan istana, kapal, dan rumah bangsawan. Ketika kekuasaan bergeser ke Mataram Islam, kawasan Blora dan Randublatung sudah masuk dalam catatan sebagai daerah penghasil jati terbaik.

Di era kolonial Belanda, pengelolaan hutan jati makin sistematis. Tahun 1800-an dibentuk Perhutani versi awal dengan sistem tanam tebang yang ketat. Dari sini, kayu jati Blora menjadi salah satu penyokong pembangunan gedung-gedung besar di Batavia hingga kapal perang Belanda.

Hingga kini, jati Blora masih dianggap primadona. Banyak rumah joglo di Jawa, bahkan mebel mewah di Eropa, menggunakan kayu dari hutan Blora.


Alas Randublatung sebagai Jantung Hutan Jati

Alas Randublatung adalah salah satu hutan jati terbesar di Indonesia. Luasnya mencapai ribuan hektare, membentang di bagian selatan Blora hingga perbatasan Ngawi. Hutan ini bukan hanya sumber kayu, tapi juga bagian dari kehidupan rakyat.

Bagi masyarakat sekitar, Alas Randublatung punya cerita mistis. Konon, hutan ini dijaga makhluk gaib yang dipercaya bisa memberi berkah atau malapetaka. Namun di balik kisah mistis itu, hutan ini nyata memberi penghidupan: dari kayu, hasil hutan non kayu, hingga jadi lahan penggembalaan ternak.

Tidak heran kalau istilah “Blora kota jati” melekat kuat. Setengah lebih dari wilayah Blora adalah kawasan hutan, sebagian besar ditanami jati oleh Perhutani.


Kayu Jati dan Ekonomi Rakyat Cepu Raya

Jati adalah denyut nadi ekonomi. Dari penebang, pengangkut, tukang gergaji, pengrajin, hingga pedagang, semua terkait rantai jati. Desa-desa di sekitar Cepu, Randublatung, dan Jiken penuh dengan industri rumah tangga berbasis jati.

Produk yang dihasilkan beragam, mulai dari kursi dan meja sederhana, sampai almari dan pintu berukir halus. Banyak pula perajin membuat rumah joglo pesanan pejabat atau kolektor kaya.

Menurut data BPS Blora 2023, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang hampir 20 persen PDRB Blora. Sebagian besar porsi ini ditopang oleh jati dan produk turunannya. Bagi rakyat Cepu Raya, jati bukan sekadar kayu, melainkan nafkah sehari-hari.


Perhutani, Konflik, dan Isu Illegal Logging

Di balik kejayaan jati, ada pula masalah panjang. Sejak lama, hubungan masyarakat sekitar hutan dan Perhutani sering tidak harmonis. Banyak warga merasa tidak mendapat bagian adil dari hasil hutan, sementara mereka menjaga dan tinggal di sekitarnya.

Fenomena illegal logging juga mencuat, terutama tahun 1998–2005 saat krisis politik dan ekonomi. Banyak hutan jati di Blora habis ditebang liar, dijual murah, lalu dibawa keluar daerah. Kerugian negara besar, masyarakat pun terjebak lingkaran hukum.

Belakangan, muncul skema Perhutanan Sosial yang memberi ruang bagi masyarakat untuk ikut mengelola hutan dengan sistem bagi hasil. Meski belum sempurna, model ini memberi harapan agar konflik jati bisa lebih adil.


Kayu Jati Blora di Pasar Dunia

Kayu jati Blora tidak hanya laris di pasar lokal, tetapi juga merambah ekspor. Banyak perajin Blora bekerja sama dengan pelaku mebel Jepara untuk memasok bahan baku. Produk mebel berbahan jati Blora diekspor ke Eropa, Amerika, hingga Timur Tengah.

Tren global bahkan mengarah ke produk sustainable wood. Jati Blora yang dikelola dengan sistem tanam tebang berkelanjutan punya nilai lebih di mata pembeli internasional. Label sertifikasi FSC (Forest Stewardship Council) membuat harga produk jati bisa melambung.

Dengan strategi pemasaran digital, pelaku UMKM Blora mulai bisa langsung menembus pasar online internasional. Ini peluang besar untuk membawa nama Cepu Raya lebih dikenal di dunia.


Kelestarian dan Masa Depan Hutan Jati

Namun semua itu tidak bisa dilepaskan dari tantangan kelestarian. Jati butuh puluhan tahun untuk matang, minimal 20–30 tahun. Jika hutan ditebang tanpa reboisasi, maka generasi mendatang tidak akan lagi mengenal kejayaan jati Blora.

Program reboisasi sudah berjalan, tapi butuh dukungan masyarakat. Ada pula hutan rakyat jati, di mana petani menanam jati di lahan pribadi. Skema ini bisa jadi jalan tengah antara ekonomi dan kelestarian.

Selain kayu, hutan jati bisa dikembangkan sebagai wisata edukasi. Bayangkan, turis bisa belajar menanam, menebang, hingga mengolah jati secara tradisional. Dengan begitu, nilai tambah tidak hanya dari kayunya, tapi juga dari pengalaman dan edukasi.


Refleksi dan Harapan

Jati bagi Blora dan Cepu Raya bukan sekadar komoditas. Kayu jati merupakan warisan budaya, sejarah panjang, sekaligus harapan ekonomi. Dari Alas Randublatung hingga pasar dunia, jati telah menghubungkan masyarakat Blora dengan dunia luar.

Tugas generasi sekarang adalah memastikan warisan ini tidak habis ditebang, melainkan diwariskan untuk anak cucu. Bukan hanya dalam bentuk kayu, tapi juga sebagai identitas dan kebanggaan Cepu Raya.


Hipotesa

Sejarah kayu jati Blora adalah cermin tentang hubungan manusia dengan alam. Ada masa kejayaan, ada konflik, ada pula peluang masa depan. Dari rumah-rumah joglo yang megah, dari pasar ekspor yang gemerlap, hingga cerita rakyat di pinggiran Alas Randublatung, semua menegaskan satu hal, bahwa jati adalah jiwa Blora.

Kini, saat ekonomi dunia bergerak cepat, tantangan bagi Cepu Raya adalah bagaimana menjadikan jati bukan hanya bahan baku, tetapi simbol kearifan, kelestarian, dan kekuatan ekonomi yang membanggakan.