Replika Fosil Gajah Purba Blora, Antara Warisan Ilmiah, Hiburan Murah, dan Potret Pariwisata Setengah Hati
Blora sering dipandang sebelah mata, cuma dianggap kabupaten kecil di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur. Padahal sejak 2009, dunia arkeologi gempar gara-gara ditemukannya fosil gajah purba Elephas hysudrindicus di Dusun Sunggun, Mendalem, Kradenan. Gajah raksasa ini dulu hidup sekitar 800 ribu sampai 200 ribu tahun lalu. Badannya segede truk kontainer, beratnya bisa 8 ton. Bayangin aja kalo nongol di jalanan Blora sekarang, pasti bikin macet pasar hewan.
Sayangnya, fosil asli udah dipindahin ke Museum Geologi Bandung. Yang nongkrong di Blora cuma replikanya. Meski cuma duplikat, tetep jadi magnet wisata, apalagi letaknya di utara Alun-alun. Gratis pula. Nah, di sinilah drama dimulai.
Ruang Pamer yang Minimalis Banget
Bangunan buat pamer replika ini ukurannya 5 x 10 meter. Serius, kecil banget buat ukuran warisan ilmiah yang katanya “ikon Blora”. Lebih mirip gudang disulap jadi ruang pamer. Dindingnya kokoh, iya, tapi auranya masih jauh dari museum kelas dunia.
Masuk ke dalam, suasana memang lumayan bisa bikin berimajinasi. Anak sekolah sering diajak study tour ke situ. Bahkan ada siswa SMK jurusan Desain Komunikasi Visual yang bikin konten foto dan video di sana. Kreatif sih, tapi ya tetap aja, kalau wadahnya minim, hasilnya juga kurang greget.
Gratis Itu Baik, Tapi Gratis Melulu Jadi Masalah
Pengunjung bisa masuk tanpa bayar sepeser pun. Sekilas terdengar keren, merakyat, dan edukatif. Tapi mari kita kritisi, gratis itu bikin apresiasi setengah hati. Orang masuk sekadar numpang foto, nggak ada ikatan emosional. Pemerintah kehilangan peluang buat re-investasi. Padahal tiket murah 5 ribu aja bisa diputar buat nambah fasilitas, gaji pemandu, atau bikin event keren.
Branding Pariwisata, Kok Rasanya Nanggung
Widyarini, pejabat Dinporabudpar, bilang bahwa ini salah satu ikon menarik Blora. Betul sih. Tapi jujur aja, brandingnya belum maksimal. Logo, narasi promosi, hingga konten medsos belum nyatuin pesan bahwa Blora ini “rumah gajah purba kelas dunia”. Yang ada, cuma papan nama seadanya, brosur tipis, dan postingan random di akun Pemerintah Kabupaten Blora.
Sementara itu, siswa PKL atau komunitas lokal justru lebih rajin bikin konten. Ironi kan? Generasi muda jadi humas sukarela, sementara pemerintah masih sibuk muter-muter rapat.
Gajah Purba dan Imajinasi Kolektif
Kalau kita gali lebih dalam, replika gajah ini bisa jadi simbol. Bayangin, sebuah kabupaten kecil menyimpan jejak zaman prasejarah yang mendunia. Seharusnya Blora bisa jadi laboratorium terbuka, ada kelas sejarah untuk pelajar, workshop kreatif untuk seniman, riset untuk kampus, sampai festival tahunan bertema purbakala.
Tapi apa yang terjadi? Cuma bangunan kecil, petugas jaga bergiliran, dan penjelasan seadanya. Potensi sebesar gajah, diperlakukan seperti kambing kurban di pasar.
Kritik untuk Pemerintah, Jangan Setengah Hati
Sejak 2015 replika dipamerkan, nggak ada perkembangan signifikan. Infrastruktur parkir minim, ruang interaktif nihil, merchandise edukatif nggak ada, bahkan pencahayaan di dalam masih standar banget. Kalau dibandingkan dengan museum di kota lain, Blora masih kalah jauh.
Padahal, kalau pemerintah serius, bisa banget bikin Museum Gajah Purba Blora. Bangunan megah, ruang pamer interaktif dengan teknologi AR/VR, kafe tematik, sampai toko cendera mata. Nggak cuma jadi tempat foto ala-ala, tapi juga pusat edukasi yang menghasilkan uang buat daerah.
Potensi Ekonomi yang Terabaikan
Coba hitung kasar. Kalau tiap pengunjung bayar tiket 5 ribu, dan rata-rata ada 200 pengunjung per hari, itu udah 1 juta per hari, 30 juta per bulan. Dana itu bisa buat bayar pemandu, perawatan gedung, dan bikin event rutin. Belum lagi kalau ada penjualan kaos “Gajah Purba Blora”, buku ilustrasi, atau miniatur gajah. Ekonomi kreatif jalan, masyarakat juga ketularan manfaat.
Sekarang? Nol rupiah. Yang ada, hanya foto selfie berseliweran di medsos tanpa dampak nyata ke kas daerah.
Peran Anak Muda, Konten Kreatif Jadi Senjata
Meski pemerintah lelet, anak muda Blora mulai bergerak. Pelajar SMK, mahasiswa, dan komunitas kreator bikin konten video, foto, sampai short film. Ini sinyal bagus. Artinya imajinasi publik hidup. Cuma sayang, kalau energi mereka nggak difasilitasi. Tanpa dukungan serius, semangat kreatif itu bisa layu, kalah sama gempuran konten receh ala TikTok.
Masa Depan Fosil Blora, Mau Jadi Apa?
Pertanyaannya sederhana, mau dibawa ke mana ikon gajah purba ini? Kalau terus gratis, seadanya, dan minim promosi, ya selamanya jadi tontonan murahan. Tapi kalau digarap serius, bisa jadi identitas Blora di peta pariwisata nasional. Bayangin ada festival tahunan “Gajah Purba Blora”, seminar internasional arkeologi, sampai wisata tematik yang nyambung dengan kuliner lokal.
Gajah Besar, Pikiran Kecil
Blora punya gajah purba sebesar gunung, tapi pikirannya masih sekecil kerbau di sawah. Replika fosil ini bisa jadi kebanggaan nasional, tapi kalau cuma diperlakukan sebagai pajangan gratisan, hasilnya ya gitu-gitu aja.
Kritik ini bukan buat menjatuhkan, tapi mengingatkan, warisan ilmiah itu bukan cuma buat selfie, tapi buat membangun peradaban. Kalau pemerintah setengah hati, biar anak muda yang ambil alih. Karena zaman purba sudah lewat, sekarang waktunya Blora milih, mau ikut punah dalam kelalaian, atau tumbuh segede gajah lewat warisan purbakalanya.
