Luka Gandu, Janji Kapolres
Blora – Sore itu, udara di Dukuh Gendono masih menyisakan bau anyir minyak dan jelaga yang pekat. Sisa-sisa tragedi kebakaran sumur ilegal Gandu seakan enggan pergi, seperti menempel di dinding rumah-rumah warga, di pepohonan yang menghitam, bahkan di hati mereka yang kehilangan.
Di antara kerumunan, Sukrin berjalan pelan. Tubuhnya tegap, tapi langkahnya berat. Di pundaknya, beban duka terlalu besar: istri, anak, dan ibu mertua hilang dalam kobaran api yang membubung tinggi.
“Saya hanya ingin keadilan. Semua sumur ilegal harus ditutup. Jangan ada lagi korban, biarlah saya saja yang menanggung,” ucapnya, suaranya pecah, sesekali menahan air mata.
Teriakan Orang Kecil
Di Mapolres Blora, Sabtu (13/9/2025) pukul lima sore, Sukrin akhirnya melaporkan Kepala Desa Gandu dan Ketua Paguyuban Penambang. Ia ditemani kuasa hukumnya, Sugiyarto, SH, MH, seorang advokat dari Pudak, Ngawen.
“Saya dampingi beliau tanpa bayaran, pro bono. Bukan soal uang, ini soal kemanusiaan. Kalau ada pembiaran sampai tiga nyawa melayang, negara tidak boleh diam,” kata Sugiyarto, atau akrab disapa Pak Gik.
Baginya, kasus ini bukan hanya tentang satu keluarga, tapi tentang marwah hukum di negeri ini. “Saya dorong korban lain ikut melapor. Jangan takut. Hukum tidak boleh hanya berpihak pada yang kuat,” tambahnya.
Kapolres Menjawab
Kabar laporan Sukrin cepat sampai ke telinga Kapolres Blora, AKBP Wawan Andi Susanto. Dari balik seragam dinasnya, ia memberi janji yang meneguhkan.
“Laporan dari Pak Sukrin akan segera kami tindaklanjuti. Perkembangan penyelidikan pasti kami sampaikan kepada pelapor. Kami jamin kesetaraan di muka hukum, siapa pun yang terlibat akan kami proses,” katanya mantap.
Janji itu sederhana, tapi bagi Sukrin dan korban lainnya, kalimat itu seperti setetes air di tengah padang yang kering: sebuah pengakuan bahwa suara rakyat kecil masih didengar.
Luka yang Belum Kering
Kasus Gandu bukan peristiwa sepele. Tiga orang meninggal, puluhan lainnya luka, dan seluruh negeri menyorot Blora. Tiga tersangka sudah ditahan, tapi cerita belum selesai. Laporan Sukrin membuka bab baru: tuntutan pertanggungjawaban dari orang-orang yang dianggap membiarkan pengeboran di tengah kampung.
Di rumah yang kini sepi, Sukrin sering termenung. Bayangan istrinya, Yeti, masih terasa. Anak kecilnya, Abu Dhabi, yang biasanya riang, kini tinggal nama di batu nisan. Ibunya, yang selalu menyiapkan teh hangat setiap pagi, tak pernah kembali.
“Saya orang kecil. Tapi saya mohon Presiden, Gubernur, jangan menutup mata. Lindungi kami, rakyat kecil,” katanya lirih, seolah berbicara kepada udara.
Negara yang Dinanti
Sukrin sudah melangkah sejauh ini. Didampingi kuasa hukum, disokong janji Kapolres, ia berharap perjuangannya tak berhenti di meja penyidik. Ia ingin ada keadilan, bukan hanya baginya, tapi bagi seluruh warga Blora yang hidup di bayang-bayang sumur ilegal.
Di Gandu, api memang sudah padam. Tapi luka di hati warga belum. Mereka masih menunggu: apakah negara benar-benar hadir, atau sekali lagi membiarkan rakyat kecil meratapi nasib sendirian.
